“Setidaknya ada dua tujuan dari budaya tersebut, yakni bersedekah dan mempererat silaturahmi atau dalam bahasa sunda disebut duduluran,” ungkap lulusan Sastra Sunda Universitas Padjadjaran (Unpad) Angkatan 1992 ini.
Pria yang akrab disapa Apun ini mengungkapkan, budaya saling memberi ini sudah biasa bagi orang kampung di Sunda.
Bila dikaitkan dengan Islam, Nabi Muhammad SAW pernah menganjurkan, bila seseorang memasak kemudian tetangga yang dekat mencium baunya, maka baiknya tetangga diberi makanan tersebut.
Saat masih kecil, awal tahun 1980-an, budaya anjang-anjangan ini begitu marak. Lulusan SDN 5 Pangalengan tersebut bahkan menanti-nanti disuruh ibunya untuk mengantarkan makanan.
Baca juga: Terbongkar, Jaringan Pembuat Hasil Tes Swab Palsu, Per Lembar Rp 200.000, 10 Menit Jadi
“Soalna sok diburuhan (diberi uang) oleh tetangga tujuan. Lumayan buat jajan, dari semua tetangga sekitar Rp 500,” ungkap Apun.
Budaya ini perlahan luntur. Menginjak SMA tahun 90an, ia sudah jarang melihat budaya anjang-anjangan ini.
Namun, hal itu tidak bisa dipukul rata. Bisa jadi masih ada daerah yang merawat budaya tersebut.
Seperti di Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut serta Cililin, KBB.
Warga Pakenjeng Garut, Karmini (59) mengungkapkan, di kampungnya budaya ini masih ada, meski tidak semarak dulu.
Bahkan, di tahun 60-an, saat dirinya masih kecil ada sesuatu yang unik. Di hari terakhir shaum, ada sebagian warga yang buka puasa lebih cepat.
“Jadi kalau selesai masak jam 12.00, buka puasanya jam 12.00. Kalau selesainya jam 15.00 sore, bukanya jam 15.00 sore. Tapi, sekarang tidak gitu, bukanya tetep jam 18.00 atau saat waktunya buka,” tutur dia.
Sementara itu, Mak Toto (80) menceritakan bagaimana budaya tersebut perlahan menghilang. Dulu saat kecil, budaya saling bertukar makanan menjelang Lebaran dilakukan semua warga.
“Buat tetangga yang punya (rezeki) akan mengisi kembali rantang. Tapi, kalau tidak ada, enggak akan mengisi rantang,” ucap dia.