PONTIANAK, KOMPAS.com - Kepolisian telah melakukan klarifikasi awal terkait dugaan pungutan liar (pungli) pemeriksaan rapid test antigen di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Kalbar).
Kapolres Sambas AKBP Robertus Herry Ananto Pratiknyo mengatakan, hasil klarifikasi awal itu menyimpulkan, belum ditemukan indikasi adanya pungutan liar atau pungli.
"Kesalahan terhadap pelaksanaan rapid test antigen tersebut adalah cap Dinkes Sambas pada nota pembayaran," kata Herry kepada Kompas.com, Sabtu (8/5/2021) pagi.
Baca juga: Oknum Dinkes Sambas Diduga Lakukan Pungli Biaya Rapid Test Antigen Rp 250.000
Herry menerangkan, kronologi adanya dugaan pungutan dalam pemeriksaan rapid test antigen sebesar Rp 250.000 itu bermula Senin, 19 April 2021.
Saat itu, seorang karyawati di kantor perbankan melakukan pemeriksaan rapid test antigen secara mandiri di klinik milik dr Ganjar Eko Prabowo.
"Pemeriksaan dilakukan oleh SA dan SH, yang merupakan pegawai di Dinas Kesehatan Sambas," ucap Herry.
Karena hasil pemeriksaan tersebut reaktif, sehingga dikeluarkan surat keterangan dan kuitansi pembayaran dengan stempel basah Dinas Kesehatan Sambas.
"Terkait dengan kelalaian tersebut, mereka membuat pernyataan permintaan maaf," jelas Herry.
Baca juga: Oknum Dinkes Sambas Diduga Lakukan Pungli Biaya Rapid Test Antigen Rp 250.000
Menurut Herry, berdasarkan koordinasi dengan Dokter Ganjar Eko Prabowo, selaku pemilik kelinik, diketahui bahwa klinik tersebut memiliki izin praktik resmi.
"Rapid tes antigen dengan menggunakan barang milik sendiri yang dibeli dari rekanan, dikenakan bayaran sesuai harga eceran tertinggi. Kecuali hibah," terang Herry.
Sebelumnya, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sambas Fattah Mariyuani juga menegaskan, pihaknya tak pernah menarik biaya untuk pemeriksaan rapid tes antigen.
Menurut Fattah, hanya terjadi kekeliruan dalam membuat kuitansi.
"Perlu diluruskan, Dinkes Sambas tidak pernah narik biaya (rapid test antigen)," kata Fattah.
Sebagaimana diketahui, kabar dugaan pungli pertama kali disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Kalbar Harisson.
Menurut Harisson, dugaan tersebut berawal dari adanya dokumen kuitansi pembayaran rapid test antigen sebesar Rp 250.000 beserta dokumen hasil pemeriksaannya.