SALATIGA, KOMPAS.com - Di dapur yang tak terlalu luas, terdapat ada empat perempuan yang sedang beraktivitas.
Dua orang tengah menggoreng daun pegagan untuk dijadikan keripik, dua lainnya sibuk memasukkan keripik yang sudah matang ke plastik ukuran setengah kilogram.
Dikomandoi Prihatin (43), mereka bekerja dengan tekun. Sesekali bercanda dan membahas Covid-19 yang tak juga mereda.
"Ya begini kalau bekerja, guyon-guyon agar tidak spaneng," kata dia saat ditemui, Jumat (7/5/2021) di rumahnya Dusun Nobo Tengah RT 003 RW 008, Kelurahan Noborejo, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga.
Siapa sangka, Prihatin adalah penyandang disabilitas. Kaki kirinya lumpuh sejak usia tiga tahun.
Saat itu, Prihatin yang berasal dari Wonogiri, menderita demam tinggi, disuntik oleh tenaga kesehatan desa.
"Saya lima tahun tidak bisa gerak. Lalu ada bantuan terapi dari pemerintah, saya mulai belajar aktivitas seperti biasa," terangnya.
Namun, Prihatin tak mau lagi mengingat hal tersebut. Dia menyatakan, hidupnya harus berguna bagi sesama di tengah keterbatasan fisiknya.
"Yang bekerja membuat daun pegagan ada lima orang, tapi ini sudah ada yang mudik," ungkapnya.
Baca juga: Cerita Sahnan, Penyandang Disabilitas yang 30 Tahun Jadi Guru Ngaji Tanpa Dibayar: Niat Saya Pahala
Para pekerja pembuat keripik, lanjutnya, terdiri dari dua orang disabilitas, satu orang tua dari anak penyandang disabilitas, dan dua orang anggota PKK di RT-nya.
"Ini bagian dari pemberdayaan ibu-ibu, daripada menganggur di rumah, lebih baik usaha untuk menambah pemasukan. Lumayan bantu-bantu suami," kata Prihatin.
Meski kaki kirinya tak sempurna, Prihatin memiliki aktivitas seabrek.
Tak hanya mengoordinasi pembuatan keripik daun pegagan, dia juga menjadi Ketua PKK, pengajar ekstrakurikuler daur ulang sampah di SDIT Izzatul Islam Getasan, dan Ketua Bank Sampah Peduli Lingkungan dan pernah menjadi yang terbaik di Kota Salatiga pada 2015.
"Saya juga menjadi ketua PDA atau Persatuan Difabel Argomulyo, anggotanya saat ini ada 143 orang. Kalau yang khusus Noborejo ada 33 orang," ungkapnya.
Prihatin mengatakan, PDA didirikan pada 2017.
"Kami bersatu agar saling dukung, saling memberdayakan. Tak hanya untuk penyandang disabilitas, tapi juga keluarganya. Awalnya memang susah, tapi saya melakukan pendekatan door to door, kasih pemahaman bahwa ini organisasi positif akhirnya banyak yang bergabung," paparnya.
Satu bulan sekali, anggota PDA berkumpul untuk diskusi.
"Kami juga melakukan pendampingan secara ekonomi, termasuk juga mengusahakan terapi untuk teman-teman. Untuk sekali terapi biayanya Rp 2 juta untuk melatih gerak motorik," imbuh Prihatin.
Menurut Prihatin, keluarga sangat mendukung dirinya berkecimpung dalam organisasi.
"Saya hanya ingin menunjukkan bahwa penyandang disabilitas itu bukan beban. Buktinya saya bisa, sosialisasi dengan masyarakat juga diterima, jangan malu. Kita penyandang disabilitas harus ikut partisipasi, jangan pasif," kata ibu empat anak ini.
Sementara Sujiyem, ibu dari Hikmah Agustina (12) mengaku senang bisa berkumpul di PDA.
"Anak saya itu pemikirannya lemah, tapi saya mendapat semangat lagi setelah gabung di PDA. Kalau untuk yang nyambi goreng pegagan ini lumayan ada tambahan pemasukan," ungkapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.