KOMPAS.com - Selama belasan tahun para perempuan buruh gendong di pasar-pasar tradisional di Kota Solo menjalani kehidupannya.
Tak hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, mereka juga menjadi tulang punggung keluarga.
Berikut kisah para perempuan perkasa yang menjadi buruh gendong di Kota Solo dikutip dari VOA Indonesia.
Baca juga: Ayo Bantu Buruh Gendong di Yogyakarta Agar Tetap Bisa Makan Nasi Bungkus Selama Pandemi
Bermodalkan selembar selendang kain dan fisik yang kuat, Suprapti membawa barang-barang di punggungnya. Langkahnya tak terhenti walaupun terik matahari menyengat tubuhnya.
Ia bersama 25 perempuan buruh gendong di Pasar Legi Solo hilir mudik setiap hari mengangkut barang dengan berat puluhan kilogram di punggung mereka.
Suprapti bercerita sudah 15 tahun menjalani pekerjaan sebagai buruh gendong. Sekali angkut, ia bisa membawa barang seberat 70 kilogram di punggungnya.
Baca juga: Gibran Larang Pemudik Masuk Solo, tapi Izinkan Wisatawan dari Jakarta Datang
"Sudah 15 tahun saya jadi buruh gendong di pasar ini. Sekali angkut bisa 60-70 kilogram. Bayaran angkutnya antara Rp 7.000-Rp 10.000, tergantung yang ngasih. Siang ini baru dapat dua orderan, sekitar Rp 20.000 ," ujar Suprapti penuh semangat.
Di sela-sela hiruk pikuknya pasar, perempuan asal Karanganyar itu berisitirahat di pojok pasar bersama rekan kerjanya sambil makan minum dan bersendau gurau.
Tak ada beban dalam tawanya. Tak ada diskusi panjang soal emansipasi atau pemberdayaan perempuan. Karena yang ada dalam benak mereka adalah bagaimana menyambung hidup.
Baca juga: Libur Lebaran 2021, Tempat Wisata di Solo Diperbolehkan Beroperasi
Suprapti tak pernah mempersalahkan hal tersebut. Uang yang ia hasilkan sebagai buruh gendong akan dikumpulkan dengan uang suaminya untuk kebutuhn makan keluarga dan biaya sekolah sang anak.
Hal yang sama diceritakan Hartini. Ia mengatakan hasil kerja sebagai buruh gendong dapat ia gunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Ia sendiri sudah 19 tahun bekerja sebagai buruh gendong sejak anaknya masih berusia 2 tahun.
Baca juga: Sejarah Masjid Agung Surakarta, Peninggalan Mataram Islam di Kota Solo
Biasanya ia akan datang ke pasar pada pukul 09.00 WIB dan pulang pukul 17.00 WIB.
"Tergantung orderan," kata dia.