"Saya sudah 19 tahun bekerja sebagai buruh gendong. Sejak anak saya usia 2 tahun hingga sekarang ia sudah berusia 21 tahun. Saya sudah tidak punya suami. Jadi saya menjadi tulang punggung keluarga,” ujar Hartini.
Ia mengaku sudah tak lagi merasakan beban barat di punggungnya karena sudah terbiasa.
Hartini bercerita ia bekerja sebagai buruh gendong karena diajak oleh saudara dan rekan-rekannya yang sudah lebih dulu memulai pekerjaan tersebut.
Baca juga: Gibran Perbolehkan Mudik Lokal Solo Raya
Saat istirahat siang, puluhan buru gendong tersebut akan bekumpul untuk menghilangkan penat. Tak jarang mereka saling memijat dan mengoleskan balsem.
Sesekali mereka tertawa, tak jarang menangis haru bersama. Misalnya ketika bicara soal teman sesama buruh gendong yang jatuh sakit.
Suprapti mengatakan selama ini ia dan teman-temannya menggunakan kartu kesehatan gratis yang diterbitkan pemerintah, yaitu Kartu Indonesia Sehat atau KIS.
Jika sakit mereka berobat ke puskesmas atau rumah sakit pemerintah yang gratis.
"Ya kalau sakit, berobat ke puskesmas, pakai kartu KIS itu. Gratis. Saya kan tidak punya uang berobat. Buat makan keluarga saja pas-pasan,” ungkap Suprapti.
Baca juga: Lurah Gajahan Solo Dibebastugaskan karena Dugaan Pungli, Pemkot Tunjuk Plh
Pengamat sosial di Universitas Negeri Sebelas Maret UNS Solo Ahmad Romdhon melihat keberadaan perempuan buruh gendong di sejumlah pasar tradisional sebagai potret perempuan tangguh.
"Ada suatu segmen perempuan dalam pekerjaan yang merupakan domain laki-laki. Namun dalam ranah pasar menjadi pilihan realistis bagi perempuan," ujar Romdhon kepada VOA.
Ia mengatakan para buruh gendong tidak punya modal kemampuan non-fisik lainnya, misal berdagang, bersaing bersama ekosistem di pasar
Dan mereka memilih bekerja sebagai buruh gendong.
Baca juga: Takbir Keliling Dilarang di Solo, Shalat Id Hanya Dibolehkan di Zona Hijau dan Kuning
"Disebut emansipasi perempuan buruh gendong ini bisa iya, bisa tidak. Iya karena mereka keluar dari ranah domestik dalam rumah, bertanggung jawab pada keluarganya. Kalau kita lihat ibu rumah tangga di rumah, beban kerjanya melebihi beban kerja laki-laki yang harus bekerja di ranah publik," tegasnya.
Lebih jauh ia menyoroti kondisi fisik perempuan buruh gendong yang kurang diperhatikan, misalnya kondisi tulang belakang, siklus haid dan hormonal, hingga dampak ketika memasuki usia lanjut.
Baca juga: Personel Gabungan Jaga Ketat Tempat Karantina Pemudik Nekat di Solo
Sementara itu, Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, saat ditemui di Balaikota Solo, Jumat (30/4/2021) menyatakan akan lebih memperhatikan nasib para buruh gendong di pasar itu.
"Akan kami lebih perhatikan lagi nasib dan kondisi mereka. Kan kami kemarin yang jelas sudah membantu vaksinasi di pasar tradisional, termasuk para buruh gendong. Para buruh non-formal akan lebih kami perhatikan lagi", ujar Gibra
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.