KOMPAS.com - Tiga orang warga Indonesia eks napi teroris, yang pernah menjadi petempur kelompok militan ISIS di Suriah, menyadari kesalahannya dan berusaha menebusnya dengan menyebarkan narasi anti-ekstremisme di masyarakat.
Inilah kisah tiga pria asal Surabaya, Pasuruan, dan Malang, Jawa Timur, yang terpapar gerakan ekstremisme yang menghalalkan kekerasan, dengan berangkat ke medan perang di Suriah dan bergabung dengan kelompok militan yang menyebut diri Negara Islam atau ISIS.
Mereka terpikat menjadi 'jihadis radikal' melalui propaganda di internet, persinggungan dengan seorang perekrut ISIS, serta proses panjang dan perlahan yang membuat mereka makin terdorong ke dalam ekstremisme.
Baca juga: Polri: Terduga Teroris yang Ditembak Mati di Makassar Adalah Eks Napi Teroris
Ujungnya, atas nama persaudaraan dan, tentu saja, petualangan adrenalin, Abu Farros (nama sebutan), Wildan Bahriza, dan Syahrul Munif, meninggalkan ayah, ibu, anak, dan keluarganya.
Dihadapkan kekejaman perang di Suriah, kekejian ISIS, dan perangai negatif sang perekrut, kesadaran intelektual dan rohani, juga situasi di Indonesia, mereka akhirnya memutuskan meninggalkan Suriah.
Apa yang terjadi setelah mereka diadili dan mendekam di penjara?
Di titik mana dalam kehidupan para eks jihadis ini sehingga mereka akhirnya berhasil keluar dari ideologi kebencian?
Baca juga: Kalapas Gunung Sindur: Napi Teroris Awalnya Hormat Bendera Saja Tidak Mau
Bagaimana mereka beradaptasi di masyarakat ketika dihadapkan adanya stigma tentang latar belakang mereka sebagai mantan napi teroris?
Berikut kesaksian tiga orang itu dalam wawancara terpisah di Surabaya dan Malang:
Baca juga: Kisah Pertobatan WNI Eks Jihadis di Suriah, Abu Faros: Saya Tak Bisa Tidur Selama 2 Bulan (1)
Baca juga: Kisah Pertobatan WNI Eks Jihadis di Suriah, Wildan: Kami Ditaruh di Front Pertempuran (2)
Dalam rentang sekitar tujuh tahun, Syahrul Munif, 39 tahun, yang dulu berangkat 'berjihad' ke medan perang Suriah dengan bergabung ISIS, dapat berubah 180 derajat.
Kini, pria kelahiran Juli 1982 ini berulang-ulang menyebut ISIS sebagai "virus yang merusak citra Islam" — hal yang diakuinya tak "terpikirkan" saat dia bersumpah mendukung ISIS tujuh tahun silam.
Baca juga: Puluhan Napi Teroris di Lapas Gunung Sindur Ucapkan Ikrar Setia Pancasila
BBC Indonesia lantas bertanya kepada Syahrul — lulusan strata satu Fakultas Hukum di sebuah perguruan tinggi swasta di Malang — perihal bagaimana dia bisa berubah dalam rentang tujuh tahun.
Berubah dalam artian, misalnya saja, dia tidak lagi menganggap jihad itu harus mengangkat senjata atau tentang ketegasan sikapnya yang menolak konsep kekhalifahan.
"Saat di dalam penjara saya mulai berpikir," ujarnya dalam wawancara dengan BBC News Indonesia di rumah kontrakannya di Singosari, Malang, pertengahan April 2021.
Baca juga: 34 dari 56 Napi Teroris Berikrar Setia kepada NKRI, Kemenkumham: Yang 22 Terus Kita Bina
"Termasuk jihad di Indonesia seharusnya seperti apa, jihad sesungguhnya menurut syariah seperti apa," ungkapnya.
Lalu, apa yang terjadi pada Anda ketika disuguhi video-video propaganda tentang apa yang terjadi di Suriah oleh Abu Jandal alias Salim Mubarok Attamimi, sehingga nekat ke Suriah? BBC Indonesia bertanya lagi.
Baca juga: Kisah Nana Napi Teroris Bom Panci, Didoktrin Paham Radikal oleh Suami, Kini Memilih Kembali ke NKRI
"Saya tidak berpikir ke sana," jawab Syahrul, mencoba menggambarkan apa yang ada di benaknya, saat itu.
Dia menyebut posisinya saat itu sebagai murid yang "mencari ilmu" kepada Salim yang disebutnya sebagai ustaz alias guru.