"Saya lihat bupati juga tidak setuju kalau saya dengar-dengar, saya juga sudah membaca statement Pak Bupati tentang ketidaksetujuan terhadap tambang emas yang diberikan izin oleh pemerintah pusat," paparnya.
Dikatakannya, dengan adanya penolakan warga terkait konsesi tambang ini, peran pemerintah provinsi harus ada untuk memberikan solusi.
"Jadi peran Pak Gubernur untuk meyakinkan kepada pemerintah pusat. Pastinya dengan izin pemerintah pusat ini, Pemkab Sangihe juga dilema. Karena ketika pusat memberikan izin, daerah harus mengamankan itu. Ini satu dilema juga bagi DPRD Sangihe," tandasnya.
Warga juga sudah membuat petisi "Sangihe Pulau yang Indah, Kami TOLAK Tambang". Diakses dari change.org pada Rabu (28/4/2021), yang telah menandatangani petisi sebanyak 28.259 orang.
Berikut beberapa petikan poin dalam petisi tersebut:
Namun, saat ini kami terkejut. Tiba-tiba pulau kami dimasuki oleh perusahaan tambang emas bernama PT. T untuk dieksploitasi.
Seseorang bernama R, Kementerian ESDM. Dia tidak mengenal kami dan tidak pernah datang ke pulau kami, telah mengeluarkan ijin SK Produksi bernomor 163.K/MB.04/DJB/2021 dengan luas konsesi sebesar 42.000 Hektar. Itu artinya setengah dari luas pulau kami. Ia yang berada dalam kenyamanannya di Jakarta, dengan mudahnya menetapkan pulau kecil kami untuk ditambang.
Dalam UU Nomor 1 Tahun 2014, pulau-pulau dengan luas daratan kurang dari 2000 Km2 dikategorikan sebagai pulau kecil dan tidak boleh ditambang. Sedangkan pulau kami hanya berukuran 736 Km2. Namun entah apa yang ada di benak para pejabat itu sehingga memberi ijin pada perusahaan asing untuk membongkar daratan pulau ini.
Jika pulau kami ditambang, lahan pertanian kami pasti hilang. Lalu ke mana petani kami mencari tanah untuk diolah? Sementara hutan kami pun akan rusak, satwa dan tanaman endemik kami kehilangan habitatnya dan beresiko punah. Hutan juga menjadi penopang hidup kami, menjadi hulu dari seluruh sungai yang mengalir di setiap kampung. Jika pulau ini ditambang, mata air akan putus bahkan tercemar.
Belum lagi, jika tambang yang hendak beroperasi hingga 2054, maka limbah beracunnya, kalau di darat akan masuk ke mata air dan sumur-sumur kami. Jika ke laut, akan mencemari bakau dan karang tempat ikan-ikan kami bertelur dan mencari makan. Lalu kami pun akan memakan ikan yang mengandung racun itu. Ini artinya kami hendak dibunuh perlahan-lahan.
Sistem pertambangan terbuka yang akan digunakan nantinya akan mempengaruhi struktur geologi tanah kami. Getaran dan benturan akibat pengeboran atau pemboman akan mempengaruhi lempengan tektonik di bawah pulau kami, dan tentu kami tidak mau peradaban kami hilang karena bencana.
Jika pulau kami telah rusak oleh tambang emas. Lalu bagaimana nasib anak cucu kami. Di mana mereka akan tinggal? Haruskah mereka terusir dari tanah nenek moyang mereka?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.