Kehadiran tempat ibadah ini sekaligus memfasilitasi para karyawan dan tamu-tamu yang berkunjung untuk tetap bisa beribadah sesuai agamanya.
Kehadiran pusat peribadatan itu juga untuk menunjukkan kepada dunia bahwa kerukunan beragama di Bali berlangsung dengan baik.
Baca juga: Belajar Toleransi dari Kaki Gunung Kawi, Warga Beragam Agama Gotong Royong Bangun Masjid
Sementara itu Ida Bagus Wika Krishna, doktor dari Universitas Hindu Indonesia menjelaskan saat itu Joop Ave menugaskan PT Bali Tourism Development Center (BTDC) untuk menyiapkan lahan.
Pada 1992, BTDC memilih sepetak lahan seluas 2,5 hektare di Desa Kampial yang menghadap ke Tanjung Benoan. Setiap rumah ibadah dibangun di atas lahan seluas 5.000 meter persegi.
Dalam penelitian Krishna berjudul "Kajian Multikultur: Ide-ide Imajiner Dalam Pembangunan Puja Mandala", BTDC juga menentukan adanya lahan parkir bersama nonsekat bagi kelima rumah ibadah dan tinggi tiap-tiap rumah ibadah yang dibangun mesti seragam.
Baca juga: Grebeg Ramadhan, Pemberdayaan Ekonomi Berbalut Toleransi di Salatiga
Pembangunannya mulai dilakukan pada 1994 dan berlangsung hingga 1997, dengan menyelesaikan bangunan Masjid Agung Ibnu Batutah, Gereja Paroki Maria Bunda Segala Bangsa, dan Gereja GKPB Bukit Doa.
Dalam sejumlah literasi disebutkan bahwa Vihara Buddha Guna selesai dibangun pada 2003.
Namun menurut Krishna, vihara resmi digunakan 20 Desember 1997. Pura Jagat Natha menjadi rumah ibadah yang terakhir diresmikan, yaitu pada 30 Agustus 2004.
Baca juga: Sejarah Gereja Katedral Makassar, Berusia 123 Tahun hingga Jadi Simbol Toleransi
Setiap bangunan rumah ibadah memiliki keunikan desain.
Contohnya Masjid Agung Ibnu Batutah berlantai tiga yang dibangun di bagian paling kiri dari Puja Mandala. Masjid tersebut mengambil bentuk susunan limas seperti umumnya mesjid di tanah Jawa.
Masjid ini mampu menampung tiga ribu orang.
Tepat di samping mesjid adalah bangunan Gereja Katolik Bunda Maria Segala Bangsa dengan desain menara lonceng tunggal dan dinding depan gevel mengikuti bagian atap.
Di bagian belakang gereja berdesain atap tumpang.
Baca juga: Sejarah Gereja Katedral Makassar, Jejak Toleransi Raja Gowa Sultan Alauddin
Dan di sebelahnya terdapat bangunan vihara dengan dominasi warna kuning gading. Sepintas, bentuknya mirip dengan vihara yang terdapat di Thailand termasuk adanya dua patung gajah putih di pintu gerbang dan pagoda emas di bagian atas vihara.
Bangunan lain adalah Gereja GKPB Bukit Doa yang memiliki desain unik berukiran Bali di beberapa sudut dinding.