CIANJUR, KOMPAS.com – Pagi masih terlalu dini untuk beraktivitas. Namun, denyut kehidupan di kampung ini sudah terasa sejak matahari terbit dari ufuk timur.
Sejumlah warga sedari pagi buta sudah tergopoh-gopoh menuju ladang kosong di atas perkampungan sambil membawa berbagai peralatan.
Hari ini, warga Kampung Kedunghilir, Desa Sukamanah, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, akan beraktivitas seperti biasanya, yakni mengolah buah aren menjadi caruluk.
Caruluk adalah nama lain dari kolang-kaling.
Baca juga: Ada Kampung Kolang Kaling Setiap Ramadhan, di Sini Tempatnya
Memproduksi caruluk memang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan warga setempat.
Mayoritas warga di dusun ini telah menjadi perajin kolang-kaling selama puluhan tahun, yakni kegiatan usaha mikro yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Sebagai sentra produksi kolang-kaling, maka tak heran jika Kampung Kedunghilir selama ini dikenal sebagai “Kampung Caruluk“.
Kendati, wabah virus corona yang bereskalasi secara global, nasional, dan lokal dalam setahun terakhir ini sempat mengguncang kegiatan usaha mereka.
Namun, para perajin produsen caruluk mampu bertahan, dan kini tengah mendulang rupiah di bulan penuh berkah seiring meningkatnya permintaan pasar.
Baca juga: Ada Kampung Narkoba, Ini Asal-usul Kota Palembang, Dikenal dengan Bumi Sriwijaya
Dahlan (42) adalah seorang perajin caruluk generasi ketiga yang meneruskan usaha keluarganya.
Ia mengaku, orangtua dan kakeknya juga dulu bekerja sebagai perajin caruluk.
“Biasanya ya diturunkan ke anak-anaknya. Jadi, ada yang meneruskan usaha,” kata Dahlan saat ditemui di sela aktivitasnya, Minggu (25/4/2021).
Baca juga: Kisah Rani Anjani, Perajin Cobek Tradisional Cianjur, Mempertahankan Warisan Usaha Turun-temurun
Dahlan telah menekuni usaha tersebut selama belasan tahun.
Kini, perajin caruluk tak hanya didominasi orangtua dan dewasa, tetapi juga dari kalangan remaja, bahkan anak-anak.
Apalagi, di bulan puasa seperti sekarang ini, anak-anak menjadi perajin musiman untuk membantu kegiatan usaha orangtua mereka.
“Mereka senang, karena dapat upah juga. Kalau Ramadhan memang hampir semua warga terlibat,” ucap Dahlan.