Bekal keterampilan
Selama menjelajah hutan, Zola punya manajemen yang baik.
“Misalnya tentang pakaian, berapa yang dibawa dan jenisnya gimana, supaya pas kita jalan di hutan tidak terlalu dibebani dengan barang-barang pribadi," kata Zola.
Bahkan, ketika akan tidur di hutan, juga perlu perhitungan untuk menentukan daerah yang aman.
"Kita lihat dulu kondisinya, biasanya di pinggir sungai. Tapi dilihat lagi kriterianya sungai, jangan sampai nanti kita tidur, sungainya malah meluap dan lain sebagaianya,” kata Zola.
Baca juga: Kisah Polwan Anak Tukang Sayur, Dulu Diremehkan, Kini Jadi Kasat Narkoba
Ketika masuk hutan, apalagi saat melakukan survei potensi satwa, Zola terkadang bertemu dengan satwa liar dan berbahaya.
“Khawatir tentu saja, pernah ketemu ular berbisa yang kalau menurut jenisnya mematikan. Untungnya ular tersebut tidak menggigit,” kata penggemar buku-buku sejarah ini.
Menurut Zola, sebelum masuk hutan ada serangkaian kegiatan yang dilakukan.
Misalnya melakukan riset untuk memahami kriteria hutan yang akan dimasuki.
Kemudian memahami larangan dan pantangan yang sudah ditetapkan masyarakat setempat.
“Tiap daerah berbeda pengetahuan mereka tentang hutan. Kita yang datang ke daerah itu tentu menyesuaikan saja. Misalnya karena saya perempuan, ada daerah yang dilarang masuk ke dalam hutan kalau lagi halangan, kita ikuti saja aturan itu," kata Zola.
Meneliti soal karbon
Perdagangan karbon memang masih sangat baru. Bagi banyak negara, praktiknya masih belum terlalu lancar.
Di Indonesia sudah ada beberapa yang berjalan dan berhasil mendapatkan manfaat dari perdagangan karbon. Salah satunya adalah Bukit Panjang Rantau Bayur di Kabupaten Bungo.
Dengan skema imbal jasa karbon sukarela, Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur atau Bujang Raba mampu mendatangkan uang miliaran rupiah untuk masyarakat pengelolanya.