Kartini suka sekali membaca buku yang menjadi salah satu inspirasinya memajukan kaum perempuan di Indonesia.
Ia membaca buku ini saat ditinggal adiknya, Kardinah yang menikah dan ikut suaminya. Kartini mengunci kamar untuk menyelesaikan buku tersebebut.
Baca juga: Berkunjung ke Pantai Kartini di Jepara, ada Kura-kura Ocean Park dan Cerita Encik Lanang
"Percayakah kau, kalau Hilda van Suylenburg itu aku tamatkan tanpa berhenti? Aku kurung diriku di dalam kamar terkunci, lupa segala-galanya, tak dapat aku melepaskan dia dari tangan, dia begitu menyeret hatiku," tulis Kartini pada 12 Januari 1900.
"Mau aku mengorbankan segala-galanya kalau saja diperoleh hidup di masa Hilda van Suylenburg," tulis Kartini pada 25 Mei 1899.
Buku ini beberapa kali disebutkan Kartini dalam surat ke sahabat penanya. Buku berbahasa Belanda ini sangat digandrungi oleh Kartini. Namun ia tak menyebutkan nama pengarangnya.
Ia hanya menyebutkan nama penerjemah buku itu yakni Jeannette van Riensdijk.
Buku Moderne Maagden ditulis oleh Marcal Prevost penulis dari Penacis.
Marcal adalah seorang pengarang roman dan drama yang terkenal. Buku tersebut menguraikan tentang tujuan gerakan perempuan.
"Karena penemuan-penemuan kembali banyak hal yang memang telah aku pikirkan, rasakan, dan alami," tulis Kartini pada 23 Agustus 1900.
Baca juga: Polemik Usai Terbitnya Buku Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang
Buku ini ditulis oleh August Bebel seorang sosialis Jerman.
Buku adalah sebuah roman tentang kaum perempuan dalam bingkai sosialisme dengan cara pandang yang sangat tendensisu sehingga karya semacam ini sering disebut dengan istilah roman bertendens.
Ia juga membaca buku sosialis yang lain yakni buku De Wapens Neergelegd karya Bertha von Suttner. Suttner mendapat Nobel pada 1905 setelah Kartini meninggal.
Kartini juga membaca karya-karya Couperus yang pernah sekolah di Batavia.
"Bahasa Couperius sangat indah tiada duanya," puji Kartini di surat 12 Januari 1900.
Baca juga: Panggil Aku Kartini Saja, Potret Kekaguman Pramoedya...
Selain buku perjuangan, Kartini juga membaca buku-buku tentang perjalanan dan sastra klasik seperti satra Jawa dan Yunani.
Sebut saja Wedhatama, Centhini, dan buku hikayat-hikayat wayang serta buku yang berisi kisah perjalanan, tentang ajaran hingga budi pekerti.
Saat masih sekolah ia juga membaca buku Buddhisme karya Fielding dan biografi Ramabai.
Baca juga: Hari Kartini, Bagaimana Isi Buku Habis Gelap Terbitlah Terang?
Kartini memanfaatkan kotak bacaan ayahnya yang berisi buku, koran, serta majalah dari dalam dan laut negeri.
Ditopang bacaannya, Kartini semakin dewasa dan berpikir matang hingga ia sadar akan nasib kaum perempuan serta bangsanya yang tertindas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.