5. Muktamar NU ke-29 masa khidmat 1994-1999, dalam rumusan program pokok pengembangan NU menyatakan bahwa sektor perempuan melalui banom Muslimat dan Fatayat ikut serta mengembangkan dan mendorong peningkatan peran perempuan kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat dan beragama.
6. Munas Alim Ulama NU 1997 di Lombok, melahirkan maklumat tentang “Kedudukan Perempuan Dalam Islam (makanat al-Mar’ah fi al-Islam)”.
7. Mubes NU 2004, komisi gerakan perempuan merekomendasikan:
Hal ini menunjukkan komitmen para Kiai NU yang kuat untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam seluruh aspek kehidupan. NU menegaskan komitmennya ikut menginisiasi transformasi kultur kesetaraan yang kemudian mampu menjadi dinamisator pembangunan dengan memberdayakan perempuan Indonesia pada proporsi yang sebenarnya.
Bagi gerakan perempuan di kalangan NU, seperti IPPNU, KOPRI, Fatayat dan Muslimat, keputusan-keputusan ini merupakan dokumen historis yang menjadi dasar legitimasi bagi upaya-upaya advokasi perempuan.
Keputusan-keputusan tersebut tidak terlepas dari peran para kiai yang melahirkan gerakan-gerakan organisasi perempuan yang berada dibawah naungan NU, yang tentunya mampu membawa kemajuan khususnya untuk perempuan dan umumnya untuk kemajuan bangsa Indonesia. Para kiai tersebut di antaranya adalah:
1. Kiai Wahab Hasbullah
Pada rapat umum NU KH.A. Wahab Hasbullah (wakil PBNU) berbicara bahwa: “Dalam kalangan umat islam, bukanlah hanya kaum Bapak saja yang harus dan wajib mempelajari dan menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai hamba Allah, tetapi kaum ibu juga harus mengikuti akan langkah gerak dari kaum laki-laki. Mereka harus sama-sama menjalankan segala apa yang diwajibkan oleh agama islam.” (Menjawab Kegelisahan NU, 2004: 53-54)
Kongres NU ke XIV di Magelang, KH A Wahab Hasbullah memberikan nasihat-nasihat sehubungan dengan kebangkitan, kedudukan perempuan dalam islam dan penyampaiannya dengan mengambil contoh-contoh yang menarik.
Dalam sejarah Muslimat, dicantumkan bahwa KH A Wahab Hasbullah dan KH M Dahlan berjasa besar atas lahirnya Muslimat NU, bahwa dengan ketekunan-ketekunan dan dorongan-dorongan beliaulah NUM berdiri di samping NU. Andaikan NUM itu sebagai bayi yang baru lahir, maka beliaulah yang menjadi dokter dan bidan. Mereka mengerti dan terus mengamati kapan bayi itu lahir, maka setelah datang saatnya mereka mendorong, memimpin serta membimbing dengan tidak menghiraukan rintangan dari kanan kiri.
Tidak berhenti di sana saja, NUM diasuh, diberi petunjuk, dipimpin dan dibimbing, diluruskan jalannya, ditolong kalau mau jatuh, dibesarkan hatinya, dikobarkan semangatnya, sehingga NUM dapat berjalan sendiri. Dalam dokumentasi Muslimat, disebutkan bahwa KH A Wahab Hasbullah dan KH Saifuddin Zuhri menjadi guru pada kursus kepemimpinan Muslimat NU yang pertama kali di Madiun pada Maret 1948.
2. KH M Dahlan
Kiai Haji M Dahlan selain mendorong lahirnya Muslimat NU, menurut penuturan Ibu Aminah Mansur selaku dewan pimpinan Fatayat NU, beliau juga mendorong pembentukan Fatayat NU ketika menjadi ketum PBNU.
Dalam catatan sejarah Fatayat NU, disebutkan bahwa pada saat banyak para kongresisten berpendapat bahwa “haram hukumnya" perempuan keluar rumah. Kiai Dahlan berjuang dengan gigih agar perempuan dan puteri-puteri ini diterima di dalam NU.
Beliau mendekati Hadlratus Syech KH Hasyim Asyari dan KH Wahab Chasbullah, dua ulama NU yang memiliki pandangan luas tentang perlu ikut sertanya perempuan dan pemudi-pemudinya dalam organisasi NU.