KOMPAS.com - Selain tempat lahir Kartini, Kota Jepara juga dikenal sebagai tempat seni ukir berkelas dunia sejak abad ke-19.
Hal tersebut terbukti dengan penghargaan dari berbagai kalangan baik dalam dan luar negeri yang menyatakan Jepara sebagai kawasan terpadu penghadil mebel dan ukiran.
Dikutip dari Indonesia.go.id, legenda tentang pengukir dan pelukis dari zaman Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit diceritakan secara turun temurun di Kota Jepara.
Saking kuatnya legenda itu ditanamkan, sehingga orang mempercayainya sebagai sejarah awal Jepara terkenal dengan ukirannya.
Baca juga: Yuk, Nikmati Serunya Wisata di Kampung Ukir Jepara...
Konon dahulu kala Prabangkara, ahli lukis dan ukir itu, dipanggil oleh Raja Brawijaya untuk melukis isterinya dalam keadaan tanpa busana sebagai wujud cinta sang raja.
Sebagai pelukis, ia harus melukis melalui imajinasinya tanpa boleh melihat permaisuri dalam keadaan tanpa busana.
Prabangkara melakukan tugasnya dengan sempurna sampai kotoran seekor cecak jatuh mengenai lukisan itu sehingga lukisan permaisuri mempunyai tahi lalat.
Raja sangat puas dengan hasil karya Prabangkara namun begitu melihat tahi lalat tersebut, maka marahlah sang raja.
Ia menuduh Prabangkara melihat permaisuri tanpa busana karena lokasi tahi lalatnya persis dengan kenyataannya.
Baca juga: Ajarkan Ukiran, Empat Ahli Ukir Jepara Dikirim ke Papua
Prabangkara pun dihukum dengan diikat di layang-layang, diterbangkan, dan kemudian jatuh di Belakang Gunung yang kini bernama Mulyoharjo.
Prabangkara kemudian mengajarkan ilmu ukir kepada warga Jepara dan kemahiran ukir warga Jepara bertahan hingga sekarang.
Ukiran Jepara sudah ada sejak zamannya pemerintahan Ratu Kalinyamat sekitar tahun 1549.
Di zaman itu kesenian ukir berkembang dengan sangat pesat ditambah dengan adanya seorang menteri bernama Sungging Badarduwung yang berasal dari Campa dan sangat ahli dalam seni ukir.
Baca juga: Kisah Perempuan-perempuan Andal di Balik Mebel Ukir Jepara
Sementara daerah Belakang Gunung diceritakan terdapat sekelompok pengukir yang bertugas untuk melayani kebutuhan ukir keluarga kerajaan.
Semakin hari kelompok ini berkembang menjadi semakin banyak karena desa-desa tetangga mereka pun ikut belajar mengukir.