JOMBANG, KOMPAS.com - Kamus Sejarah Indonesia Jilid I (Nation Formation) dan Jilid II (Nation Building) menjadi sorotan.
Buku yang diterbitkan oleh Direktorat Sejarah pada Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) tersebut menuai polemik karena tidak adanya sosok pahlawan nasional, sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama, KH Mohammad Hasyim Asy'ari, dalam buku tersebut.
Baca juga: Nama KH Hasyim Asyari Hilang dalam Kamus Sejarah Indonesia, Kemendikbud Minta Maaf
Hasyim Asy'ari, tokoh ulama pemikir dan pejuang yang dianugerahi gelar pahlawan nasional, lahir pada 4 Robiulawwal 1292 H /10 April 1875, di Jombang, Jawa Timur.
Pendiri Pesantren Tebuireng itu merupakan kakek dari Presiden keempat RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), serta ayah dari mantan Menteri Agama, KH Wahid Hasyim.
Dalam buku KH Hasyim Asy'ari, "Pengabdian Seorang Kyai untuk Negeri" yang diterbitkan Museum Kebangkitan Nasional, terungkap peran besar Hasyim Asy'ari dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Hasyim Asy'ari yang mendapatkan gelar Hadhratusy Syeikh dari kalangan ulama, memiliki kontribusi yang tidak kecil sejak sebelum Indonesia merdeka hingga saat mempertahankan kemerdekaan.
Dosen UIN Jakarta Achmad Zubaidi, salah satu penulis dalam buku tersebut menyoroti khusus tentang kiprah dan peran penting tokoh ini.
Dalam tulisannya berjudul "Kontribusi Hadhratusy Syeikh Dalam Menegakkan NKRI", Achmad Zubaidi menggambarkan peran Kiai Hasyim dalam bidang keagamaan, pendidikan, perjuangan melawan penjajah hingga mempertahankan kemerdekaan.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, Kiai Hasyim menjadi tokoh yang ditakuti pihak penjajah. Keberadaannya ditakuti Belanda dan Jepang karena memiliki pengaruh yang besar.
Belanda, tulis Zubaidi, dalam upayanya merangkul KH Hasyim Asy'ari, menganugerahkan bintang jasa. Namun, anugerah dari Belanda itu ditolak Kiai Hasyim.
"Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci)," demikian tulis Zubaidi.
Fatwa itu membuat Belanda kerepotan karena memantik perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Selain fatwa jihad melawan penjajah Belanda, ulama pendiri NU tersebut juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda.
Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas.
"Karuan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya," ungkap Zubaidi.