Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Eduart Wolok
Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Provinsi Gorontalo

Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Provinsi Gorontalo dan Rektor Universitas Negeri Gorontalo

 

Memahami Islam Gorontalo sebagai Tradisi Diskursif

Kompas.com - 17/04/2021, 21:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Salah satu keniscayaan persebaran Islam di pelbagai belahan dunia adalah pelibatan negiosiasi dengan khazanah kepercayaan budaya lokal. Dalam beragam bentuk, negosiasi ini mewujud, sebagaimana diuraikan para sarjana, dengan beberapa term seperti “akulturasi”, “sinkretisasi” atau bahkan “ekletisisme” dan berbagai istilah lainnya.

Pada kasus inilah Islam di Indonesia bukanlah sebuah pengecualian. Apa yang disebut sebagai Islam di Indonesia adalah Islam yang bermanifestasi dalam praktik kebudayaan lokal. Dan, meskipun praktik-praktik ini berbeda satu sama lain di tiap-tiap daerah, keseluruhannya tidak melepaskan doktrin teologis primer yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Salah satu praktik itu terlihat di dalam diskursus Islam Gorontalo yang memperlihatkan jalinan yang erat dengan budaya setempat. Diterimanya Islam di Gorontalo tidak lewat penaklukan karena memang, sedari awal, antara “Islam” dan “budaya” masyarakat Gorontalo telah memiliki kesamaan.

Satu contoh misalnya tentang penyebutan terhadap “Yang Maha Tunggal” di Gorontalo sebagai Eya, memiliki kesamaan secara prinsipil dengan Allah SWT, yakni Dia yang satu, yang menciptakan bumi dan langit.

Baca juga: Hikmah Ramadhan: Puasa dan Kedisiplinan

 

Perjumpaan ini juga tidak dimulai dengan penaklukan, melainkan lewat dialog secara gradual sebelum kemudian menjadi agama resmi kerajaan di abad ke-17.

Dialog secara gradual ini, memungkinkan Islam di Gorontalo ditafsirkan lewat struktur pengetahuan dan kebudayaan (from within) masyarakat Gorontalo sendiri.

Dalam term kesarjanaan yang lebih luas, Islam Gorontalo ini dapat diartikan sebagai sebuah tradisi diskursif.

Islam sebagai tradisi diskursif ini diperkenalkan oleh antropolog Talal Asad di dalam The Idea of Anthropology of Islam (Qui Parle, 2009), yang menyatakan bahwa Islam harus dilihat sebagai fenomena yang lahir berdasarkan proses-proses diskursif di mana ia terus menerus diproduksi sepanjang zaman.

Berangkat dari pandangan inilah perjumpaan tradisi lokal Gorontalo dan Islam harus dilihat sebagai sebuah fenomena yang lahir dan berkembang di dalam konteks masyarakat di mana makna saling mengisi dan terus menerus saling mendefinisikan lewat proses-proses diskursif. Pada praktiknya, Islam Gorontalo adalah islam yang inklusif.

Formasi diskursif Islam Gorontalo

Sultan Amai (1472-1550), putra adalah raja pertama Gorontalo yang memeluk Islam lewat pernikahan dengan Ratu Owutango, seorang putri Raja Palasa yang notabene telah menerima Islam dari Kesultanan Ternate.

Islamisasi awal lewat tangan Amai ini tidak berlangsung dengan cara yang represif, namun berusaha mendialogkan dengan kebudayaan setempat. Lewat proses panjang, lahirlah falsafah Gorontalo yang berbunyi “syara'a topa-topango to adati” atau “syariat Islam berpangkal pada adat Gorontalo”.

Meletakkan syariat Islam di bawah adat Gorontalo bukan berarti menomorduakan Islam, melainkan memberikan tafsir sepenuhnya kepada masyarakat Gorontalo pada waktu itu untuk memahami Islam sesuai dengan konstruk pengetahuan mereka. Ide ini lantas mengejawantah dalam produk hukum adat yang berjumlah 185 pasal yang paling banyak mengatur hubungan antara masyarakat.

Setelah Amai, kepemimpinan kerajaan berpindah ke Matolodulakiki pada tahun 1590. Islamisasi terjadi lebih luas lagi pada masa ini seturut direkonstruksinya makna filosofis pertama yang diusung Amai.

Falsafah itu berbunyi “syara’a topa-topango to adati, adati topa-topango to syara’a” atau, “syariat berpangkal kepada adat, adat berpangkal pada syariat”. Formasi ini meniscayakan hubungan adat dan syariat yang saling terkait satu sama lain.

Dari pembahasan ini terlihat bahwa posisi Islam di wilayah Gorontalo semakin menguat dan ini dibuktikan dengan adanya 77 kitab Islam klasik yang beredar dan diajarkan di wilayah Gorontalo.

Falsafah ini kembali berubah maknanya di bawah kesultanan Eyato (1673) menjadi lebih eksplisit mendudukkan Islam sebagai sumber dari adat dan Istiadat Gorontalo. Falsafah itu, sekali lagi berbunyi “adati topa-topango to syara’a, syara’a topa-topango to quruani” atau “adat bersendi syara’, dan syara bersendi pada Al Quran”.

Sepintas, orang akan berkesimpulan bahwa perubahan falsafah adat Gorontalo ini meniscayakan eksklusivisme Islam. Namun demikian, bagi sejarawan kawakan Gorontalo Kuno Kaluku, tafsir terhadap falsafah Gorontalo ini bersumber dari pemaknaan orang-orang Gorontalo terhadap alam sebab antara Islam dan kebudayaan Gorontalo memiliki kesamaan prinsipil.

Kaluku, dikutip melalui SR Nur di dalam Ruh Islam dalam Budaya Nusantara: Etos Kerja Masyarakat Gorontalo (Yayasan Festival Istiqlal, 1996) menulis, “Adat Gorontalo itu berdasar pada ketentuan-ketentuan alam yang merupakan satu rahmat yang diperoleh dari nenek moyang orang Gorontalo...”.

Lebih lanjut lagi, Kaluku menebalkan definisi adat Gorontalo sebagai “[praktik] orang dan masayarakat Gorontalo yang berkembang menjadi guru. Dan, alam itulah amanat yang diterima dari Allah SWT oleh moyang kita”. Artinya, adat dan kebiasaan Gorontalo itu tidak turun dari langit begitu saja, melainkan terbentuk lewat kedekatan mereka dengan alam sebelum kemudian didefinisikan kembali seturut masuknya Islam dan dipertahankan hingga saat ini.

Praktik Islam diskursif

Di zaman kiwari, salah satu praktik Islam Gorontalo ini, bisa kita lihat dalam menyambut dan menjalani Ramadhan. Dalam proses menyambut ini, di Gorontalo, sehari sebelum Ramadhan dikenal tradisi Huwi lo Yimelu, atau Menyambut Malam Ramadhan.

Tradisi ini bermanifestasi ke dalam praktik saling tegur sapa, juga silaturahmi, atau yang paling intim adalah bermaaf-maafan.

Setelah menjalin tali silaturahmi, biasanya umat Islam Gorontalo membersihkan badan dengan menggunakan bahan alami seperti kelapa dan dedaunan untuk mengharumkan tubuh. Praktik ini disusul dengan "mongoloto malu’o" atau menyembelih ayam yang dilakukan oleh para pegawai syar’i (biasanya di kampung-kampung).

Cara ini dilakukan untuk memperkenalkan Ramadhan ini kepada anak-anak bahwa Ramadhan harus dimuliakan. Ayam-ayam ini tidak dimakan sendiri, melainkan dibagikan kepada tetangga (mongohi malu’o) untuk semakin mempererat tali silaturahmi antar-mereka.

Contoh lain yang masih berkaitan erat dengan Ramadhan adalah tradisi Malam Qunut, atau perayaan malam ke-15 Ramadhan. Biasanya, setelah melaksanakan shalat tarawih di masjid, masyarakat lalu berkumpul, bercerita, sambil makan kacang dan pisang.

Tradisi ini juga diikuti oleh ritual mandi dosa. Salah satu sumur tua di Gorontalo yang berada di Desa Batuda’a lah yang diambil airnya dalam melaksanakan ritual ini. Masyarakat percaya bahwa dosa-dosa mereka akan terhapus setelah melaksanakan ritual tersebut dan paling penting, di dalam konstruk kebudayaan masyarakat muslim Gorontalo, tradisi ini adalah salah satu bagian dari ekspresi Islam. Karena ia merupakan ekspresi Islam, maka, dengan demikian, tradisi ini menjadi sakral meskipun pada taraf tertentu, ini tidak menjadi sebuah kewajiban yang mengikat.

Islam sebagai tradisi diskursif di Gorontalo juga meniscayakan praktik Islam moderat. Dimaksud moderat karena ia bertitikpangkal pada satu pemahaman bahwa Islam dipraktikkan secara inklusif dan menerima berbagai perbedaan.

Baca juga: Sabar Sumber Kebahagiaan

 

Perbedaan pertama ini terlihat dari penerimaan Islam terhadap adat Gorontalo, dan kedua, terlihat dari hubungan antara masyarakat muslim dan non-muslim. Alih-alih menyebut non-muslim sebagai orang kafir (kafiru), mereka disebut sebagai manusia yang, “jaatiluna taliye” atau “tidak disunat”.

Sebaliknya, kata kafiru justru sering terdengar di kalangan muslim sendiri ketika merujuk pada individu yang melakukan penyimpangan terhadap nilai-nilai keislaman. Fenomena ini mengasumsikan bahwa praktik Islam di Gorontalo itu cenderung hati-hati dan lebih menekankan pada hubungan bersama.

Beberapa tradisi yang telah dijelaskan di atas ini, tentu tidak semuanya. Masih ada berbagai praktik Islam di Gorontalo yang layak untuk menjadi bahan refleksi bersama. Namun penting diingat bahwa praktik-praktik ini tidak lahir dari ruang vakum sejarah, tetapi telah melalui definisi dan redefinisi sepanjang sejarah.

Di sisi lain, tradisi ini penting untuk diangkat kembali ke permukaan sebagai pembacaan alternatif Islam ala Nahdlatul Ulama yang konsen kepada kebudayaan masyaraka lokal terhadap fenomena keislaman yang sifatnya keras dan literal atomistik dalam menafsirkan Al Quran.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ayah dan Anak Nekat Curi Solar Milik PLN di Tapal Batas Sota Merauke

Ayah dan Anak Nekat Curi Solar Milik PLN di Tapal Batas Sota Merauke

Regional
Laporkan Pacar Anaknya atas Kasus Pencabulan, Ayah Korban Ternyata Ikut Memerkosa

Laporkan Pacar Anaknya atas Kasus Pencabulan, Ayah Korban Ternyata Ikut Memerkosa

Regional
Ditagih Belanjaan Sembako Rp 45 Juta, IRT Pelaku Penipuan Maki Korban

Ditagih Belanjaan Sembako Rp 45 Juta, IRT Pelaku Penipuan Maki Korban

Regional
Penutupan Bandara Sam Ratulangi Manado Diperpanjang, Abu Vulkanik Gunung Ruang Ganggu Penerbangan

Penutupan Bandara Sam Ratulangi Manado Diperpanjang, Abu Vulkanik Gunung Ruang Ganggu Penerbangan

Regional
Hujan Disertai Angin di Semarang, Puluhan Rumah Roboh dan Pohon Tumbang

Hujan Disertai Angin di Semarang, Puluhan Rumah Roboh dan Pohon Tumbang

Regional
Sambut HUT Ke-76 Provinsi Sumut, Pj Gubernur Hassanudin: Momen Ini Jadi Ajang Evaluasi dan Introspeksi

Sambut HUT Ke-76 Provinsi Sumut, Pj Gubernur Hassanudin: Momen Ini Jadi Ajang Evaluasi dan Introspeksi

Regional
Korban Banjir di Lebong Bengkulu Butuhkan Air Bersih dan Pangan

Korban Banjir di Lebong Bengkulu Butuhkan Air Bersih dan Pangan

Regional
Terjerat Kasus Fidusia, Seorang PNS di Salatiga Ditangkap Polisi

Terjerat Kasus Fidusia, Seorang PNS di Salatiga Ditangkap Polisi

Regional
Kakek yang Hilang di Pantai Rogan Flores Timur Ditemukan Meninggal Dunia

Kakek yang Hilang di Pantai Rogan Flores Timur Ditemukan Meninggal Dunia

Regional
Perampok Bersenjata Api yang Gasak Toko Emas di Blora Masih Buron

Perampok Bersenjata Api yang Gasak Toko Emas di Blora Masih Buron

Regional
Dugaan Dosen Joki di Untan Pontianak, Mahasiswa Tidak Kuliah tapi Tetap Dapat Nilai

Dugaan Dosen Joki di Untan Pontianak, Mahasiswa Tidak Kuliah tapi Tetap Dapat Nilai

Regional
Lebaran Kelar, Harga Bumbu Dapur Terus Melambung di Lampung

Lebaran Kelar, Harga Bumbu Dapur Terus Melambung di Lampung

Regional
Dendam dan Sakit Hati Jadi Motif Pembunuhan Wanita Penjual Emas di Kapuas Hulu

Dendam dan Sakit Hati Jadi Motif Pembunuhan Wanita Penjual Emas di Kapuas Hulu

Regional
Kerangka Manusia Kenakan Sarung dan Peci Ditemukan di Jalur Pendakian Gunung Slamet Tegal, seperti Apa Kondisinya?

Kerangka Manusia Kenakan Sarung dan Peci Ditemukan di Jalur Pendakian Gunung Slamet Tegal, seperti Apa Kondisinya?

Regional
Bupati Purworejo Temui Sri Sultan, Bahas soal Suplai Air Bandara YIA

Bupati Purworejo Temui Sri Sultan, Bahas soal Suplai Air Bandara YIA

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com