SEMARANG, KOMPAS.com - Seorang lelaki tampak sedang berjibaku dengan kepulan asap dari perapian kayu bakar di dapur kecil belakang Masjid Jami Pekojan, Semarang.
Dengan lincah kedua tangan yang memegang pengaduk kayu seolah menari-nari saat sedang mengaduk adonan di dalam tungku tua yang terbuat dari tembaga.
Bau harum adonan tiba-tiba menyeruak seakan melambaikan tangan dan menggoda perut yang keroncongan setelah hampir setengah hari puasa.
Baca juga: Tradisi Pembagian Bubur Samin di Masjid Darussalam Solo Kembali Ditiadakan
Waktu masih menunjukkan pukul setengah dua, kedua juru masak silih berganti mengaduk adonan bubur legendaris yang bernama Bubur India.
Sementara, sekumpulan bocah-bocah kampung sekitar tengah bermain riang usai rerintik hujan turun pada sore itu.
Mereka tampak sudah tak sabar menunggu adonan bubur siap untuk dibagikan.
Begitu bubur telah matang, mereka langsung berhamburan mengantre dengan membawa wadah sendiri untuk dibawa pulang ke rumah.
Selain anak-anak, ada juga sejumlah bapak-bapak dari warga sekitar dan beberapa pendatang tak mau ketinggalan.
Baca juga: Tradisi Piring Terbang di Masjid Jogokariyan Diganti Nasi Boks
Setiap kali bulan Ramadhan, Bubur India menjadi makanan khas yang selalu dinanti warga di masjid yang terletak di Jalan Petolongan I, Kelurahan Purwodinatan.
Bubur yang terbuat dari campuran beras ini disajikan kepada warga secara cuma-cuma alias gratis sebagai hidangan berbuka puasa.
Bubur India ini dibuat dari resep turun temurun selama satu abad sehingga cita rasanya konon tidak berubah.
Bubur dilengkapi rempah-rempah tradisional seperti jahe, lengkuas, serai, daun salam, daun pandan, kayu manis, wortel, bawang merah dan bawang putih.
Proses memasaknya memakan waktu hingga dua jam dan harus selalu diaduk untuk menjaga kekentalan bubur.
Tak hanya itu, setelah matang, bubur disajikan dengan sayur berkuah yang selalu berganti-ganti setiap harinya.
Kali ini, bubur dilengkapi dengan sayur kare dengan kuah santan yang dilengkapi kol, wortel dan daging sapi.
Selepas Ashar, mangkuk berwarna-warni berisi bubur dan sayur sudah mulai ditata rapi dengan pengaturan jarak di serambi masjid.
Setiap mangkuk dihidangkan sepaket dengan segelas susu coklat atau teh hangat, kurma dan buah semangka.
Setiap harinya pengurus masjid mengolah sekitar 15 hingga 20 kilogram Bubur India yang disajikan untuk 150 hingga 200 mangkuk.
Dananya pun berasal dari para donatur masjid.
"Sekarang rata-rata 100 sampai 150 porsi untuk jamaah yang di masjid. Tapi yang diluar itu sudah tak terhitung. Sebelum pandemi juga sama jumlahnya tidak ada pengurangan. Karena kalau yang buka banyak kasihan kalau tidak kebagian," kata Ketua Takmir Masjid, Ali Baharun ditemui di Masjid Jami Pekojan, Semarang, Rabu (14/4/2021).
Ali yang merupakan generasi keempat pewaris tradisi pembuatan Bubur India ini mengungkapkan, penyajian buka puasa sempat berhenti saat Ramadhan tahun kemarin karena pandemi.
Bubur India yang dibagikan kepada jemaah hanya berlangsung selama lima hari saja.
"Tahun kemarin cuma berlangsung lima hari. Dari pihak kelurahan harus diberhentikan karena pandemi," kata pria keturunan Yaman ini.
Ia berharap, agar jemaah yang hadir disiplin mematuhi protokol kesehatan sehingga kegiatan tersebut bisa dilaksanakan sebulan penuh.
"Harapan saya, pengurus dan warga masyarakat tahun ini bisa samapai akhir. Mudah-mudahan doakan saja asal semua bisa tertib, Insya Allah bisa (digelar sebulan penuh)," ungkapnya.
Di masjid peninggalan sejarah itu, pihaknya telah menerapkan protokol kesehatan yang ketat seperti memakai masker dan pengaturan jarak.
Ia juga sempat berkisah tentang tradisi penyajian takjil saat buka puasa dengan bubur India sudah berlangsung sekitar satu abad.
"Sejak saya kecil sudah ada (tradisi bubur India). Sebelum itu juga sudah ada. Ya mungkin sekitar satu abad. Ini sudah sampai ke empat/lima generasi. Saya generasi ke empat, mbah dan bapak saya sudah meninggal," ujarnya.
Penyajian Bubur India untuk buka puasa sendiri berawal dari kebiasaan para pendiri Masjid Jami Pekojan yang berasal dari Gujarat.
Dahulu, penduduk sekitar menyebut mereka sebagai orang-orang India.
Mereka punya kebiasaan mengawali berbuka puasa dengan makan bubur sehingga muncul penyebutan nama Bubur India.
"Nama Bubur India cuma penyebutan saja," pungkasnya.
Pembagian bubur secara gratis tersebut konon menjadi perekat antaretnis di Kampung Pekojan.
Setidaknya ada empat etnis yang hidup wilayah tersebut yaitu Jawa, India, Arab dan China.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.