KILAS DAERAH

Kilas Daerah Semarang

Cegah Kerumunan, Prosesi Dugderan di Kota Semarang Berjalan Sederhana

Kompas.com - 11/04/2021, 20:25 WIB
A P Sari

Penulis

KOMPAS.com – Pelaksanaan Dugderan di Kota Semarang tahun ini diperingati secara sederhana oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang.

Dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Minggu (11/4/2021), Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi (Hendi) menjelaskan, hal tersebut dilakukan guna mencegah timbulnya kerumunan yang berpotensi memicu penularan Covid-19.

Meski sederhana, gelaran Dugderan itu tetap berjalan sesuai tradisi yang ada dengan tetap menerapkan protokol kesehatan (prokes).

“Kita belajar dari tahun lalu untuk tetap menjalankan tradisi Kota Semarang di tengah pandemi. Tahun lalu juga dikemas oleh teman-teman dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dengan menggalakkan prokes, meski tidak semeriah biasanya,” jelas Hendi.

Baca juga: Sambut Ramadhan, Tradisi Dugderan di Semarang Digelar Sederhana

Pelaksanaan Dugderan itu, sebut dia, diselenggarakan Pemkot Semarang bekerja sama dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Kota Semarang.

Prosesi tradisi dilaksanakan di halaman Balai Kota Semarang menuju Masjid Agung Kauman Semarang dengan suasana yang sangat terbatas.

Sesampainya di masjid, Hendi lalu membaca Suhuf Halaqof dan menabuh beduk sebagai tanda tibanya bulan Ramadan.

“Mudah-mudahan selama Ramadan masyarakat bisa menjalankan ibadah dengan baik,” harap Hendi usai menjalani prosesi Dugderan, Minggu.

Selain dilakukan secara sederhana dan terbatas, proses Dugderan kali ini tidak menyertakan arak-arakan Warak Ngendog. Absennya arak-arakan ini bahkan sudah terjadi sejak tahun lalu.

Baca juga: Imbas Covid-19, Tradisi Dugderan dan Syawalan di Kendal Ditiadakan

Hal tersebut, kata Hendi, dilakukan agar tidak menimbulkan kerumunan masyarakat. Pasalnya, acara Warak Ngendog sangat berpotensi untuk mengundang warga dan memicu keramaian.

Sebagai informasi, Dugderan merupakan salah satu tradisi yang rutin dijalankan di Kota Semarang menjelang bulan Ramadan sejak tahun 1881.

Saking ikoniknya, tradisi itu bahkan telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Republik Indonesia (RI).

Baca tentang

komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com