KOMPAS.com - Masyarakat Suku Sasak di Lombok mengenal tradisi bau nyale yaitu memburu cacing-cacing laut aneak warna yang diyakini sebagai jelmaan Putri Mandalika.
Diyakini sang putri menceburkan diri ke laut karena menolak pinangan banyak pangeran.
Dikutip dari disbudpar.ntbprov.go.id, bau nyale dilaksanakam pada tanggal 19-20 bulan kesepuluh menurut penanggalan Suku Sasak. Atau tepat 5 hari setelah bulan purnama.
Umumnya bau nyale digelar antara bulan Februari dan Maret.
Baca juga: Kemenparekraf Promosikan MotoGP 2021di Festival Pesona Bau Nyale
Ribuan orang akan turun di Pantai Seger, desa Kuta Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah.
Pantai Seger adalah pantai berkarang dengan laut yang dangkal.
Pantai Seger sendiri masuk dalam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, satu di antara lima destinasi superprioritas pariwisata Indonesia selain Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur), Borobudur (Jawa Tengah), Likupang (Sulawesi Utara), dan Danau Toba (Sumatra Utara).
Pada masa pandemi ini, bau nyale tetap berlangsung meski festivalnya diistirahatkan untuk sementara hingga berakhirnya pandemi.
Baca juga: Bau Nyale, Momen Berburu Cacing Nyale Perwujudan Purti Mandalika
Dalam bahasa Sasak, bau artinya menangkap dan nyale adalah cacing laut. Artinya mereka menangkap cacing laut yang ada di sekitat Pantai Seger.
Memangkap cacing laut dilakukan pada malam hari. Warga menyebar. Ada yang memilih tepi bebatuan pantai, meski tak sedikit pula yang membenamkan separuh badannya di bibir pantai.
Dengan menggunakan penerangan seadanya, ribuan warga menangkap cacing laut warna-warni. Ada merah, kuning, hijau, abu-abu, dan cokelat seolah ingin mencontek warna pada pelangi.
Baca juga: Jelajah Festival Pesona Bau Nyale 2020 dengan Paket Wisata Menarik
Dengan seluruh perlengkapan yang dibawa, para warga itu serentak mengejar dan menjaring jutaan cacing laut.
Tua muda, perempuan laki-laki, besar kecil, anak-anak hingga dewasa, begitu bersemangat untuk mendapatkan hewan tak berkaki dan bertangan ini menggunakan jaring. Ember dan aneka wadah menjadi tempat untuk menampung hasil buruan.
Dikutip dari Indonesia.go.id, Putri Mandalika digambarkan sosok cantik yang diperebutkan oleh banyak pangeran dari berbagai kerajaan di Lombok seperti Kerajaan Johor, Lipur, Pane, Kuripan, Daha, dan Beru.
Tak ingin terjadi kekacauan jika ia memilih salah satu di antaranya, Putri Mandalika pun menolak semua pinangan itu dan memilih mengasingkan diri.
Baca juga: Bau Nyale, Tradisi Memburu Putri Mandalika di Pulau Lombok
Sang putri pun memutuskan untuk mengundang seluruh pangeran beserta rakyat di Pantai Kuta, Lombok pada tanggal 20 bulan 10, tepatnya sebelum Subuh.
Seluruh undangan berduyun-duyun menuju lokasi.
Putri Mandalika yang dikawal ketat prajurit kerajaan muncul di lokasi. Kemudian dia berhenti dan berdiri pada sebuah batu di pinggir pantai.
Tak lama, ia pun terjun ke dalam air laut dan menghilang tanpa jejak.
Seluruh undangan sibuk mencari, namun mereka hanya menemukan kumpulan cacing laut yang kemudian mereka percayai sebagai jelmaan Putri Mandalika.
Baca juga: NTB Gelar Great Sale dan Festival Pesona Bau Nyale
Di Pulau Lombok, terdapat 25 famili Polychaeta, di antaranya famili Eunicidae dan Nereidae.
Dalam pantauan penelitian yang dilakukan pada 1993 silam itu, peneliti yang saat itu bekerja pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tersebut, bau nyale sejatinya adalah peristiwa pemijahan massal (swarming) Polychaeta.
Pemijahan massal setahun sekali ini melibatkan jutaan ekor nyale di selatan Lombok, yaitu di Pantai Seger, Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah.
Baca juga: Soal Pelanggaran HAM dalam Pembangunan Kawasan Mandalika, Ini Tanggapan Wamen BUMN
Pantai Seger dengan hamparan pantai berkarang dan laut dangkalnya menjadi rumah paling nyaman bagi nyale untuk berkembang biak dan berlindung dari para predator alami.
Dalam 1 meter persegi (m2) saja, populasi nyale dapat mencapai 67 ekor dari 11 famili. Peristiwa pemijahan massal para nyale hanya terjadi di Pantai Seger dan berlangsung setahun sekali saja.
Dalam jumlah lebih kecil, 34-40 ekor per m2, nyale juga dapat ditemukan di kawasan Pantai Tampes (Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara), Pantai Padak (Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur) dan Pantai Kandangan (Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat).
Baca juga: Pemerintah Pastikan Infrastruktur Sirkuit Mandalika Tuntas Juli 2021
Nyale merupakan hidangan yang istimewa bagi warga Lombok. Hasil tangkapan nyale itu acap mereka jadikan pepes nyale yang dibakar dengan daun pisang.
Nyale pepes seukuran 250 gram ini pun kerap dijual di tepi jalan Lombok seharga Rp35.000-Rp50.000.
Nyale juga bisa dijadikan bokosuwu, sejenis sambal pedas berbahan nyale mentah.
Baca juga: LBH Madani Ungkap Banyak Warga yang Tak Dapat Ganti Rugi Pembebasan Lahan The Mandalika
Agar mengusir amis si cacing laut, sambal pedas ini ditabur perasan jeruk purut dan daun kemangi. Tak hanya sambal, nyale juga diolah menjadi kuah santan nyale.
Ada pula disangrai dengan campuran kelapa parut, bawang merah, bawang putih, jahe, daun kemangi, perasan jeruk limai dan cabai lombok.
Kudapan nyale yang diolah dengan cara digoreng tanpa minyak tersebut namanya nyale pa’dongo.
Nyale ngandung protein tinggi, hingga sebanyak 43,84 persen, mengalahkan telur ayam (12,2 persen) dan susu sapi (3,5 persen).
Baca juga: Komisi X: Jangan Sampai Isu Megaproyek Mandalika Jadi Bola Liar bagi Pemerintah
Uniknya lagi, kandungan kalsium sebesar 1,06 persen pada tubuh nyale ternyata masih lebih tinggi dari kandungan kalsium susu sapi yang hanya 0,12 persen.
Menurut Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Sri Purwaningsih, nyale juga berkhasiat sebagai antidiabet alami.
Di Tiongkok Selatan, ekstrak nyale bahkan telah lama digunakan sebagai obat tradisional untuk pengobatan penyakit tuberkulosis, pengaturan fungsi lambung dan limpa, serta pemulihan kesehatan yang disebabkan oleh patogen.
Baca juga: Proyek The Mandalika Dituduh Langgar HAM, Ini Tanggapan Pemerintah
Sementara zat antibakteri pada nyale, terutama dari famili Eunicedae, memiliki daya hambat terhadap kuman patogen seperti Proteus vulgaris, Escherichia coli, Streptococcus pyogenes, dan Helicobacter pylori.
Air bekas cucian dan ekstrak nyale juga diyakini masyarakat Sasak dapat menyuburkan lahan pertanian mereka.
Kemunculan nyale juga dijadikan pertanda bagi petani-petani Sasak akan berakhirnya musim hujan dan bersiap menuju musim kemarau.
Artinya selama musim kemarau mereka tak lagi menanam padi hingga kembalinya bau nyale.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.