KOMPAS.com - SH seorang pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) di Semarang yang juga tercatat sebagai komisioner KIP diduga melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada istrinya.
Pemukulan tersebut dilakukan pada 27 Maret 2021. Sang istri dipukuli di depan dua anaknya yang masih kecil hingga berdarah
Diduga penganiayaan dipicu oleh perselingkuhan.
Sang istri kemudian melapor ke Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Jawa Tengah (JPAA) Jawa Tenhah.
Menurut Koordinator JPPA Jateng Nihayatul Mukharomah penganiayaan dipicu saat sang istri menemukan percakapan pelaku dengan perempuan lain.
Isi percakapaan mereka seperti layaknya pasangan.
"Awalnya antara korban dan pelaku terjadi perselisihan. Kemungkinan karena ada pihak ketiga. Karena korban pernah mendapati percakapan pelaku dengan perempuan lain di ponsel pelaku, dengan isi percakapan layaknya sepasang kekasih," jelasnya dalam siaran pers, Kamis (8/4/2021).
Saat cekcok, SH menganiaya istrinya. Tubuh perempuan yang telah memberikan dua anak tersebut di dorong dan hidungnya dipukul dua kali hingga berdarah.
Baca juga: Derita Istri Pegiat HAM Korban KDRT di Semarang, 10 Tahun Tersiksa Fisik dan Batin
Penganiayaan dilakukan di depan anak mereka yang masih kecil. Ternyata penganiayaan itu bukan yang pertama.
Korban telah mengalami KDRT dan menderita fisik serta mental selama 10 tahun karena perlakuan semena-mena suaminya.
Namun puncaknya terjadi pada Maret 2021. Setelah itu korban memutuskan untuk melapor ke JPAA Jateng.
"Puncaknya di bulan Maret 2021, pelaku melakukan kekerasan lagi. Pelaku menampar pipi kanan korban berkali-kali, memukul kepala korban dengan botol air minum ukuran 800 mililiter hingga botol tersebut terlempar," jelas dia.
Ia mengatakan pelaku terus melakukan perbuatannya pada kurun waktu 2016 hingga terakhir pada 27 Maret 2021.
Baca juga: Anak Korban KDRT Cenderung Tumbuh sebagai Pelaku KDRT, Benarkah?
"Indonesia sudah memerangi KDRT. Bahkan ada UU yang mengatur tentang KDRT yakni pasal 44 dan 45 UU No.23/2004. Maka itu kami merespons kasus ini, apalagi ini dilakukan pejabat publik," ujar anggota JPPA, Ninik Jumoenita.