Selama 30 tahun di pengasingan di Blora, kesehatan Pocut Meurah Intan semakin menurun.
"Ditelantarkan oleh banyak pihak. Karena semua takut [untuk mengurusnya] oleh Belanda," ujar Mochamad Djamil, generasi ketiga penjaga situs makam Pocut Meurah Intan.
"Bupati sama yang lainnya itu kan takut sama Belanda, yang berani cuma mbah saya," ungkapnya pada National Geographic Indonesia.
Kakek dari Mochamad Djamil sendiri adalah RMN Dono Muhammad, seorang penghulu yang menjadi sahabat Pocut Meurah Intan.
Baca juga: Syaikhona Kholil Bangkalan Diusulkan Mendapat Gelar Pahlawan Nasional, Ini Penjelasan Khofifah...
Dari penuturannya, Dono membawa lari Pocut Meurah Intan ke kediamannya di depan Masjid Agung Blora.
"Selama persembunyiannya, enggak berani keluar dia (Pocut Meurah Intan), biar enggak ketahuan Belanda. Apalagi dia sakit-sakitan, dan kakinya kan diamputasi," terang Djamil.
Dono meninggal pada 1933 dan perawatan dan penjagaan kepada Pocut Meurah Intan terus dilakukan oleh anak-anak Dono.
Pocut Meurah Intan meninggal pada 19 September 1937.
Baca juga: Ridwan Kamil: Ada Hadiah 10 Rumah dan 10 Motor untuk Pahlawan Covid-19
Sebelum kepergiannya, Pocut Meurah Intan berwasiat ketika meninggal agar dimakamkan di Blora saja.
Anak-anak Dono pun memakamkannya di pemakaman keluarga di Desa Temurejo, Blora. Hingga kini, Djamil bersama sanak keluarganya tetap mempertahankan wasiat itu.
"Pernah perwakilan Provinsi Aceh datang kemari, mereka mau memindahkan makanya ke Aceh. Tapi kami menentangnya karena ini udah jadi wasiat dari beliau langsung pada kami. Ini amanah yang diberikan pada keluarga kami," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.