SAMARINDA, KOMPAS.com - Upaya warga Samarinda, Kalimantan Timur, untuk menggugat Presiden Joko Widodo di Pengadilan Tata Usaha (PTUN) Samarinda kandas.
Hakim PTUN Samarinda menyatakan gugatan warga itu tidak bisa diterima.
Sebagai informasi, Jokowi digugat warga Samarinda karena dianggap tidak bisa menjaga profesionalitas Polri. Mereka merasa Polri telah ikut campur saat mereka menggugat 12 polisi.
Gugatan pertama terdaftar dengan nomor perkara 3/G/TF/2021/PTUN.SMD, Rabu (28/1/2021) dan gugatan kedua dengan nomor perkara 11/PEN-DIS/TF/2021/PTUN.SMD, terdaftar pada, Rabu (24/3/2021).
Baca juga: Anggap Pemerintah Lalai Atasi Virus Corona, Kelompok UMKM Gugat Jokowi
Melalui putusan dismissal kedua perkara tersebut, hakim memutuskan tak menerima gugatan warga.
Menurut hakim, gugatan perbuatan melawan hukum yang ditujuhkan warga ke Presiden belum memenuhi syarat formil karena belum melakukan upaya administrasi.
“Pengadilan tidak berwenang mengadili gugatan para tergugat serta gugatan para tergugat tidak didasarkan pada alasan yang layak,” demikian dikutip dari amar putusan dismissal yang ditetapkan Hakim PTUN Samarinda, Rabu (31/3/2021).
Dalam amar putusan dismissal, hakim menilai dalil gugatan yang disampaikan penggugat masuk kategori gugatan perbuatan melawan hukum.
Karena itu, proses penyelesaiannya berpedoman pada UU Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintah serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6/2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2/2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintah.
Baca juga: Gugat Jokowi soal Pelambatan dan Blokir Internet Papua, Tim Advokasi Siapkan 20 Bukti
Merujuk pada UU tersebut, warga diminta apabila merasa dirugikan akibat keputusan pejabat pemerintah dapat mengajukan upaya administrasi.
Upaya administrasi yang dimaksud yakni keberatan dan banding.
Dalam penetapan dismissal, upaya ini, menurut hakim belum dilakukan para penggugat sehingga tak diterima gugatan mereka.
“Sesuai amar putusan dismissal ya, sudah jelas di situ semua pertimbangan hakim. Karena pertimbangan itu perkara tidak diterima dan menghukum penggugat membayar biaya perkara,” ungkap Humas PTUN Samarinda, Darma Setia B Purba saat ditemui Kompas.com di PTUN Samarinda, Rabu (31/3/2021).
Warga penggugat Presiden, Abdul Rahim menyebut cara Hakim PTUN memutusan sidang dismissal tak menerima gugatan mereka telah melanggar hukum.
Sebab, menurut dia, dalam Pasal 1 Ayat 3 dan 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2/2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintah memuat frasa sengketa administrasi dan sengketa perbuatan melawan hukum merupakan dua hal berbeda.
“Nah kami ini gugat perbuatan melawan hukum bukan tindakan administrasi sehingga kami harus bikin keberatan atau banding dulu seperti yang dimaksud hakim. Hakim telah melanggar aturan,” tegas Rahim.
Baca juga: Sembilan Pengusaha di Palu yang Usahanya Dijarah Gugat Jokowi hingga Rp 87 Miliar
Selain itu, Rahim juga menyoal hakim Ketua PTUN yang ikut tergugat namun memimpin sidang. Bagi dia tentu ada konflik kepentingan.
Awalnya, Rahim bersama lima rekannya, Hanry Sulistio, Abdul Rahim, Faizal Amri Darmawan, Wahyudi, Siti Zainab dan Lisia menggugat presiden.
Bukan hanya presiden, mereka juga menggugat Ketua Pengadilan Tinggi Kaltim, Ketua Pengadilan Negeri Samarinda, istitusi Polri, Polda Kaltim dan juga Kepala PTUN Samarinda.
Belakangan, Wahyudi dan Siti Zainab mundur sehingga tersisa empat warga sebagai penggugat.
Pokok gugatan
Rahim dan beberapa warga lain melayangkan gugatan ke PTUN Samarinda setelah menilai Presiden Jokowi lalai menjaga profesionalitas lembaga Polri.
Hal ini bermula saat Rahim dan sejumlah warga menggugat 12 oknum polisi di Pengadilan Negeri Samarinda karena laporan mereka di Polres Samarinda tidak kunjung ditindaklanjuti.
Dalam perkara tersebut, mereka menuding institusi Polri ikut campur tangan dalam urusan peradilan, karena memberikan bantuan hukum kepada oknum yang mereka digugat.
Baca juga: Gugat Jokowi dan BPJS Kesehatan, Pasien Kanker Minta Obat Trastuzumab Dijamin Lagi
Penggugat lain, Faizal Amri Darmawan menegaskan jika hakim memberi ruang bagi mereka untuk masuk dalam pokok perkara, maka mereka akan membuktikan dalil gugatan mereka.
“Segera masuk pokok perkara, agar segera diuji hukum materilnya bukan malah dihadang dengan hukum formil dengan cara melawan hukum,” ungkap dia bernada kesal.
Hanry Sulistio khawatir hukum kalah dengan penguasa.
Karena itu, dia menilai hal ini tersebut telah mencederai kepercayaan masyarakat terhadap lembaga yudikatif.
Baca juga: Pasien Kanker Gugat Jokowi, Wapres Akan Minta Penjelasan BPJS
“Kami berharap hukum tetap menjadi panglima tertinggi di negeri ini,” kata Hanry.
Tak terima dengan putusan dismissal, para tergugat juga melayangkan surat keberatan ke Mahkamah Agung.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.