KOMPAS.com - Soto menjadi makanan andalan yang cocok dimakan kapan saja. Dengan kuah yang hangat serta isian yang beragam, semangkuk soto memang tak bisa ditolak untuk dinikmati.
Lalu dari manakah asal-usul soto?
Dalam seminar internasional orang keturunan Cina di Indonesia pada November 2013 yang berlangsung di Semarang, Jawa Tengah, Ary Budianto dan Intan Kusuma Wardhani, antropolog dari Universitas Brawijaya menulis artikel yang serius tentang soto.
Dikutip dari Indonesia.go.id, Ari mengatakan dari sebuah catatan kaki yang ditulis Indonesianis asal Prancis Denys Lombard, soto berasal dari makanan populer abad ke-19 yang aslinya bernama caudo atau jao to.
Baca juga: 5 Tempat Makan Soto Sokaraja di Yogyakarta Buat Makan Siang
Dalam dialek hokian, caudo atau jao to berarti 'rerumputan' jeroan atau jeroan berempah. Lombard menyebut caudo pertama kali populer di Semarang di abad ke-19.
Hal yang hampir sama juga disampaikan seorang peneliti lain, Aji "Chen" Bromokusumo. Ia mengatakan soto bersal dari kata shao du atau sao tu yang berarti memasak jeroan.
Dari dua makna tersebut, makanan tersebut adalah makanan yang berbahan dasar utama perut binatang, jeroan yang kaya akan kaldu, lemak, berempah dan harum.
Baca juga: Resep Soto Sokaraja, Hidangan Khas Banyumas Berkuah Gurih
Jao to kemudian dikenalkan ke masyarakat asli Indonesia. Sebelumnya orang China banyak menggunakan daging babi atau jeroan babi. Namun karena banyak warga yang beragama islam, maka babi ddiganti dengan jeroab sapi, kerbau, atau ayam.
Penggunaan jeroan untuk isian jao to adalah karena harga daging saat itu sangat mahal.
Pada abad ke-19, sebutan soto sangat populer diperuntukkan kepada penjual yang biasanya menggunakan pikulan saat menjajakan dagangannya.
Baca juga: Kisah Bang Jack, Eks Napiter Perakit Bom Bali 1 yang Kini Sukses Jualan Soto
Ary berani mengatakan bahwa soto adalah makanan khas yang siap saji dan siap antar bagi kalangan menengah ke bawah
Bagi kalangan kelas menengah atas era akhir abad 19 hingga awal abad 20 isu higienitas dan kualitas makanan sangat menjadi perhatian.
Sementara itu Rudolf Mrazek dalam bukunya Engineers of Happy Land (2018) banyak bercerita tentang kalangan kelas atas Hindia Belanda yang lebih "borjuis" dari pada sepantarnya di Eropa.
Baca juga: Soto Cawang Sejak 1950an, Kuliner Legendaris Jakarta Tersembunyi di Lahan Parkir
Gaya hidup mewah dan super higienis bahkan rasis sering ditunjukkan dalam sajian makanan yang memandang rendah makanan orang pribumi.