Pada tahun 2007, ia mengikuti nasihat itu dan menjalani pendidikan S1, seraya menjalani kehidupan di biara dengan memakai jubah dan mencukur rambut.
Ia sedikit bingung ketika ditanya bagaimana perasaannya saat rambutnya dicukur habis.
"Kalau dikatakan begitu itu saya malah belum sempat merasa karena dadakan. Jadi tiba-tiba dibilangin nanti cukur.
"Sekarang justru selalu dikatakan...'jadi cantik ya'. Ya boleh dikatakan saya dulu ketika masih berambut malah berbeda dengan saat ini," katanya seraya tersenyum.
Baca juga: Kelenteng Tien Kok Sie Solo Persiapkan Ritual Mandi Budha untuk Sambut Imlek
Enam bulan kemudian, ia baru memberi tahu kondisinya itu pada orang tuanya.
"Pada saat itu yang paling terpukul adalah papa. Kita nggak tahu ternyata papa itu setiap pagi, subuh itu sudah bangun keluar di ruang nonton TV, ternyata papa nangis sendiri."
"Papa bilang 'ini kita tidur dengan nyenyak, makan enak, anak kita itu gimana kondisinya di sana?'"
Butuh waktu bertahun-tahun hingga keluarganya menerima apa yang menjadi pilihan Julia.
"Setelah empat tahun, ketika saya lulus mereka datang ke wisuda, mereka melihat orang di sekeliling saya baik-baik dan kondisi saya sangat baik-baik. Akhirnya mereka benar-benar lega pada saat itu," ujarnya.
Baca juga: Saat Kunjungi Wihara di Cilincing Wagub DKI Kemukakan Perbedaan adalah Kekuatan
Selesai lulus S1, Julia meneruskan pendidikan S2 ke University of Kelaniya, Sri Lanka. Saat ia mengenyam pendidikan master itu pula, di tahun 2012, ia ditahbiskan menjadi seorang Bhikkhun?.
Julia mengatakan motivasinya adalah untuk melayani umat Buddha, terutama mereka yang perempuan.
"Karena perempuan juga banyak sekali penderitaan yang mereka rasakan. Itu kadang mereka seringkali nggak ada tempat menyampaikan penderitaan yang mereka alami.
Baca juga: Pengemis Kucing-kucingan dengan Petugas Wihara demi Angpau
"Ketika ada banyak bhikkhuni, semakin banyak wadah untuk menolong mereka yang menderita," ujarnya.
Sejumlah orang menganggap dalam tradisi Therav?da, bhikkuni seharusnya sudah tidak ada karena garis penahbisan yang dipercaya telah putus sejak abad ke-11.
Namun, organisasi tempatnya bernaung Sangha Agung Indonesia mengakui penahbisan bhikkuni.
Julia pun mengingat apa yang dikatakan gurunya.
Baca juga: Aparat TNI dan Polri Jaga Kelenteng dan Wihara Saat Tahun Baru Imlek 2572 di Tangerang
"Beliau hanya menjawab, perempuan dan laki-laki mempunyai potensi yang sama untuk berkembang. Kalau kamu ingin membantu perempuan, lakukan melalui pendidikan."
Menurut Yulianti, peneliti Center for Religion and Cross-cultural Studies, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hingga tahun 2018, setidaknya hanya ada 13 bhikkhuni Theravada di Indonesia, dan Julia Surya adalah salah satunya.
Yulianti mengatakan di tahun 2000, keberadaan bhikkhuni di Indonesia baru muncul kembali setelah seorang perempuan asal Indonesia, Santini, ditahbiskan sebagai bhikkhuni di Taiwan.
Baca juga: Perayaan Imlek di Wihara Dharma Bakti Digelar dengan Protokol Kesehatan Ketat
Pemahaman seperti itu juga tertulis dalam 'Thai Woman in Buddhism' karya Chatsumarn Kabilsingh atau Bhikkhun? Dhammananda, yang diterbitkan tahun 1991. Ia mengamati kehidupan perempuan di negara Thailand, tempat aliran Therav?da berkembang pesat.
Bhikkhun? Dhammananda menulis bahwa perempuan seringkali dipahami sebagai sesuatu yang negatif, hal yang akhirnya merusak citra diri perempuan dan menghalangi perkembangan spiritual dan sosial mereka.
Baca juga: Ditutup Selama Pandemi, Wihara Lalitavistara Cilincing Dibuka Khusus Imlek
Pemahaman yang sama lah yang sering digunakan sejumlah kelompok yang menganggap bhikkhuni seharusnya tak ada.
Namun, menurut Julia, hal itu tak tepat.