Jekek menuturkan keadaan petani sementara panen lalu diterpa kebijakan impor beras dan ditambah data BPS ada surplus 2,6 juta ton menimbulkan anomali.
Kondisi itu menjadikan hukum pasar yang akhirnya menentukan.
“Petani tidak punya nilai tawar apa pun. Dan kami pemerintah daerah tidak punya kewenangan apa pun karena kondisi menjadi hukum pasar,” kata Jekek.
Baca juga: Sumsel Surplus Beras 2,07 Juta Ton, Harga Gabah Petani Pun Anjlok, Kenapa Harus Impor Beras?
Menurut Jekek pemerintah daerah tidak memiliki otoritas untuk mengintervensi anjloknya harga gabah panen di pasaran.
Kondisi saat ini harga gabah panen di lapangan berkisar dari Rp 3.500 hingga Rp 3.800.
Sementara harga pembelian pemerintah (HPP) dipatok Rp 4.200 per kilogramnya. Dengan demikian harga beli gabah di lapangan jauh dibawah HPP.
Agar petani tertolong, semestinya Bulog bekerja sama dengan kelompok tani atau gabungan kelompok tani untuk membeli gabah hasil panen para petani.
Faktanya saat ini penyerapan gabah Bulog itu banyak berasal dari tengkulak bukan dari poktan dan gapoktan.
Baca juga: Keluh Kesah Petani Tegal: Panen Raya Harga Sedang Anjlok, Pemerintah Kenapa Impor Beras
Kondisi itu tidak hanya terjadi di Wonogiri saja. Seluruh dareah mengalami nasib yang sama.
Untuk mengendalikan tengkulak pemerintah daerah tidak memiliki otoritas.
Terkecuali kelompok tani dan gabungan kelompok tani yang semuanya sudah berbadan hukum diberikan kewenangan untuk mengelola hasil panen
“Bulog semestinya menerima order gabah dengan HPP dari pokta dan gapoktan maka tengkulak tidak bisa bergerak,” ungkap Jekek.