Menurut Dedi, Kementerian Pertanian bukan hanya mendorong produktivitas, tetapi juga harus didorong untuk membeli produksi petani dan pelaksanaannya dibuat bertingkat. Anggaran penyerapannya bukan hanya dari Kementan, tetapi juga dari Dinas Pertanian provinsi hingga kota dan kabupaten. Kalau anggarannya bertiga ditanggung renteng, maka setiap daerah bisa memiliki gudang pangan. Sehingga ketika musim paceklik buruh tani tidak menderita harus membeli beras dengan harga mahal akibat cadangan menipis.
"Minimal pertama beras itu tersimpan di daerah penghasil. Misalnya satu desa penghasil padi memiliki luas sawah 2.000 hektare. Ketika panen, dia harus menghitung penduduk dan kebutuhan beras 4 bulan ke depan, sehingga stok yang dipersiapkan sekian. Nah, sisanya baru digeser keluar," katanya.
"Jadi sekali lagi Kementan harus diberi otoritas beli gabah agar buruh tani tak miskin terus," lanjut Dedi.
Baca juga: Bupati Karawang Keberatan Wacana Impor Beras Jelang Panen Raya, Sebut Harga Gabah Bisa Anjlok
Namun sekarang, pengelolaan seperti itu tidak dilakukan. Misalnya, sebuah desa di Pantura itu adalah daerah penghasil gabah. Lalu ketika panen, semua gabah dijual karena tak ada pilihan. Kemudian ketika masuk musim paceklik, mereka kekurangan beras.
"Bisa lihat data di Kementerian Sosial, daerah tingkat konsumsi tinggi bantuan non tunai seperti rastra atau raskin itu adalah daerah penghasil padi. Kalau di Jabar itu ya Cianjur, Karawang, Indramayu, Subang dan lainnya," kata Dedi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.