Produksi garam di Sabu Raijua mulai dilakukan sejak tahun 2015 lalu dengan luas lahan 102 hektar.
Garam yang dihasilkan dari tambak geomembran di Sabu Raijua adalah garam industri (kasar) kualitas super dengan kadar NaCl 96,20 persen.
"Kualitas garam itu, merupakan hasil uji Laboratorium Baristand Surabaya," kata Pian.
Pian menjelaskan, jumlah garam yang dihasilkan setiap bulannya yakni 2.000 ton.
Kebijakan impor garam pada 2018 lalu kata dia, berdampak buruk pada penjualan garam lantaran pembeli tak lagi datang ke Sabu Raijua untuk membeli garam.
Sebelum tahun 2018, harga garam di Sabu Raijua per kilogram dijual mulai Rp 1.200 hingga Rp 1.500.
Namun, hingga saat ini harga anjlok menjadi Rp 500 hingga Rp 700 per kilogram.
Kemudian pada tahun 2019 garam yang terjual hanya 1.200 ton dari total produksi 8.500 ton.
Kondisi itu diperparah lagi dengan pandemi Covid-19 pada awal 2020 lalu, semua kapal pengangkut garam tidak beroperasi, termasuk juga industri garam tidak beroperasi optimal.
"Dampaknya, penjualan garam dari Sabu Raijua ke Pulau Jawa berhenti total," kata Pian.
Pian mengatakan, saat ini semua gudang yang ada di Sabu Raijua tidak lagi menampung garam, sehingga terpaksa disimpan di luar dengan ditutupi terpal.
"Pemerintah daerah berharap dapat bekerjasama dengan industri-industri yang menggunakan garam dengan mutu terbaik dalam jangka waktu menengah dan panjang sehingga produksi garam tidak menumpuk yang tentu akan ada biaya tambahan untuk penyimpanan," kata dia.
Baca juga: Jeritan Petani Garam di Tengah Rencana Pemerintah Impor Garam: Ribuan Kantong Tertimbun di Gudang
Sebelumnya diberitakan, sejumlah petani garam di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT), menyayangkan kebijakan pemerintah pusat yang mengimpor garam dari luar negeri.
"Puluhan ribu ton garam di wilayah kami NTT nganggur, kenapa pemerintah pusat mesti impor lagi garam dari luar negeri. Kami sangat kecewa," ungkap Koordinator Petani Garam Kecamatan Raijua, Barnabas Nite (40), saat dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon, Sabtu (20/3/2021).
Menurut Barnabas, khusus di Kecamatan Raijua, terdapat ribuan ton garam yang masih ditumpuk di 20 gudang.
Bahkan kata dia, saking penuhnya garam menyebabkan gudang penyimpanan menjadi jebol.
Akibatnya banyak garam yang sudah di-packing di karung akhirnya berserakan di luar.
"Kebijakan pemerintah impor garam, ini sangat merugikan kami para petani garam. Kami tidak bisa jual lagi dan ini jadi beban buat kami yang kerja garam. Ini bukan hanya susah saja tapi setengah mati," keluhnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.