Menurut Drajat, fenomena ini bukan kali pertama terjadi di Indonesia.
Beberapa kali, tayangan telenovela hingga tayangan sinetron pun memunculkan beberapa penonton dengan tipe serupa.
Namun, Drajat mengatakan, pada satu waktu akan ada sebuah titik di mana popularitas sebuah tayangan akan menurun.
"Tapi ketika tayangan ini sedang tumbuh, ada ketertarikan tinggi, tentu saja berpengaruh pada perilaku orang-orang," ujar dia.
"Kalau tayangan film, selesai dalam waktu dua jam, sedangkan sinetron berulang setiap harinya," tutur Drajat.
Hal ini memantik pertanyaan lanjutan, apakah tayangan tersebut akan menjadi pembelajaran yang tepat bagi masyarakat?
"Bagaimana masyarakat memahami pembelajaran tentang kehidupan keluarga mereka. Apakah hanya sampai intrik-intrik itu, atau memahami bahwa kehidupan keluarga seharusnya dibangun dengan produktif, inovatif. Menjadikan keluarga sebagai ruang rasionalitas dan ruang berpikir," kata dia.
Dia pun berharap ada perpaduan antara kepentingan pasar dengan tanggung jawab pendidikan bagi masyarakat.
"Kalau saya lihat edukasinya (dalam tayangan), orang baik selalu diselamatkan, orang tak baik punya kekuatan tapi akhirnya kalah. Namun, bisa juga disisipkan pesan lain seperti kreativitas, rasionalitas. Kalau enggak, ibu-ibu hingga anak-anak yang banyak di rumah akan belajar kehidupan yang sangat emosional," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.