Cerita yang hampir serupa juga dialami Rastinih (42).
Pada 2007 lalu, Rastinih bersama suaminya, Udi (50), membuka warung nasi jamblang dan sate di Lohbener, Indramayu.
Rastinih menuturkan, usaha kulinernya tersebut begitu digemari. Dalam sebulan, ia bisa mengantongi 6 juta Rupiah.
"Alhamdulillah, katanya punya saya enak. Bahkan penduduk sekitar juga banyak yang pesan karena ini mungkin khas Pantura, jadi sesuai selera mereka," ucapnya.
Seperti kisah Jasman dan Zaenal, dibukanya Tol Cipali membuat usahanya tersebut gulung tikar.
Baca juga: Asal-usul Tasikmalaya Sang Mutiara dari Priangan Timur, Letusan Gunung Galunggung
Bangunan rumah makannya sempat disewa sebuah perusahaan swasta.
"Saat itu kantor bank swasta yang menyewanya. Sebagai kantor kecil, untuk menawarkan modal-modal usaha kepada masyarakat sekitar. Tapi itu tidak berlangsung lama, hanya dua tahun," kenangnya.
Ibu dari tiga anak menyampaikan, setelah tidak disewakan, bangunan bekas rumah makannya tersebut tidak terurus.
Sebenarnya sempat ada orang yang ingin membeli bangunan itu untuk dijadikan toko pupuk dan obat-obatan tanaman. Akan tetapi, Rastinih enggan menjualnya.
"Nggak mau, untuk masa depan anak-anak saya. Karena ini aset dan juga lokasinya strategis di pinggir jalan," kata dia.
Baca juga: Sejarah Sayur Lodeh, Hidangan Penghalau Wabah di Pulau Jawa
Baik di sekitar Sinar Padang maupun di rumah makan nasi jamblang milik Rastinih, terdapat bangunan-bangunan serupa.
Kondisinya kini sepi dan lapuk digerus waktu.
Bangunan-bangunan itu menjadi saksi bisu tentang suatu masa kejayaan yang pernah singgah di Pantura.
Sumber: Kompas.com (Penulis: Kontributor Majalengka, Mohamad Umar Alwi | Editor: Farid Assifa)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.