SURABAYA, KOMPAS.com - SM ditetapkan sebagai tersangka karena mengunggah tangkapan layar percakapan di aplikasi tentang kondisi kulit wajahnya setelah menjalani perawatan di klinik berinisial L di Surabaya.
SM dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama baik oleh klinik kecantikan tersebut ke Polda Jawa Timur.
SM dijerat dengan Pasal 27 Ayat 3 juncto Pasal 45 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Trasaksi Elektronik.
Kuasa hukum SM, Habibus menilai, penegak hukum salah kaprah dalam menerapkan pasal pencemaran nama baik dalam kasus SM.
Kuasa hukum dari YLBHI-LBH Surabaya itu menjelaskan, peristiwa yang melatarbelakangi kasus tersebut adalah keluhan kepada klinik sebagai sebuah badan usaha yang tidak memiliki struktur fisik dan psikis seperti manusia atau perorangan.
Karena itu, laporan pihak klinik terhadap SM tidak dapat dibenarkan oleh hukum karena bertentangan dengan objek dari Pasal 27 Ayat 3.
Baca juga: Buka Lowongan Kerja lewat RT, Ini Langkah Pemkot Surabaya Antisipasi Adanya KKN
Lagi pula, menurut dia, komplain dari konsumen tidak boleh disikapi dengan laporan pidana.
"Kritik dan saran merupakan hal wajar dari konsumen, sehingga seharusnya disikapi dengan arif dan bijaksana," jelasnya saat dikonfirmasi, Kamis (18/3/2021).
Hak konsumen sepenuhnya dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sehingga seluruh tuntutan terhadap SM layak dihentikan.
"Kejaksaan harus menerbitkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKP2) karena adanya ketidakadilan dalam kasus ini, lagi pula pemerintah sedang mengkaji revisi UU ITE karena sejumlah pasal, termasuk 27 Ayat 3 dinilai multitafsir," terangnya.
Habibus menjelaskan duduk perkara kasus yang menjerat kliennya tersebut.
Awalnya, SM mengunggah tangkapan layar percakapan dengan salah seorang dokter yang prihatin dengan kondisi wajahnya usai menjalani perawatan di klinik kecantikan.
Tangkapan layar itu diunggah di akun Instagram pribadinya pada 27 Desember 2019.