Dari penelusuran itu didapat kabar yang mengejutkan, bahwa Kementerian Lingkuhan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeklaim tanah warga tanpa diperkuat bukti hukum apa pun.
KLHK, kata Agustinus, mengeklaim secara sepihak lahan milik warga masuk dalam kawasan hutan, sehingga bisa dengan mudah dibebaskan untuk kepentingan proyek Bendungan Manikin.
"Pihak KLHK tidak punya bukti apa pun kalau ini adalah wilayah kawasan hutan. Mereka datang tanpa sosialisasi, langsung mencaplok kebun masyarakat masuk kawasan hutan. Padahal, ini tanah kami yang sudah kami garap turun temurun," ungkap dia.
Jika benar lahan tersebut masuk kawasan hutan, warga tentu tidak ada yang berani menggarapnya.
Sebaliknya, jika lahan tersebut milik KLHK, Agustinus justru mempertanyakan kepemilikan dan bukti sahnya secara hukum.
Sebab, selama ini tidak pernah ada patok, atau batas tanah milik KLHK yang dipasang agar warga tidak bisa menggarapnya.
Baca juga: Marahnya Ainun, Rumah Gono-gini Ditempati Mantan Suami dan Istri Baru, Sewa Orang buat Dirobohkan
"Yang aneh, semua kebun warga yang selama ini sudah digarap turun temurun, termasuk kuburan leluhur kami ini masuk dalam kawasan hutan," ujar Agustinus.
Dia pun menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan sengaja mengalihkan lahan milik warga menjadi kawasan hutan.
Padahal, awalnya pemerintah yang datang membujuk masyarakat agar bendungan itu bisa dibangun di wilayah mereka.
Setelah warga setuju bendungan itu dibangun, tiba-tiba KLHK muncul dan mengeklaim lahan tersebut masuk kawasan hutan.
"Mereka sengaja alihkan lahan ini menjadi kawasan hutan agar masyarakat tidak dapat biaya ganti rugi," imbuh dia.
Agustinus pun berharap, masalah ini bisa didengar oleh Presiden Jokowi agar bisa segera diselesaikan.
"Kami minta tolong Pak Jokowi bantu supaya hak masyarakat masyarakat tidak hilang. Kami sampai saat ini masih menunggu biaya ganti rugi," ujar dia.
Hal yang sama juga disampaikan Kepala Desa Kuaklalo Yairus Mau. Menurutnya, lahan masyarakat yang diklaim sepihak oleh KLHK masuk dalam kawasan hutan seluas 200 hektar, sedangkan yang harus diganti rugi sekitar 65 hektar.
Yairus menuturkan, pemerintah Desa Kuaklalo dan masyarakat mendukung sepenuhnya pembangunan bendungan ini.
Hal itu dibuktikan dengan dukungan warga terhadap survei tim Land Acquisition And Resettlemen Action Plan (LARAP) atau Rencana Kerja Pengadaan Tanah dan Pemukiman Kembali.
Selain itu, warga juga mendukung pertemuan-pertemuan bersama antara aparat desa, tokoh masyarakat dan tim LARAP, hingga menghasilkan kesepakatan bahwa Bendungan Manikin layak dibangun.
"Begitu kami tahu bahwa bendungan itu masuk kawasan hutan, maka kami aparat desa dan masyarakat kaget. Kenapa sekian lama tidak menyampaikan kepada kami. Begitu pembangunan bendungan ini berjalan baru ada informasi," ujar Yairus.
Dia menuturkan, sebelum tahun 1960, orangtua dan nenek moyang mereka tinggal di lokasi pembangunan bendungan yang saat ini diklaim masuk kawasan hutan.
Kemudian tahun 1967, karena ada aturan dari pemerintah yang mewajibkan masyarakat harus tinggal di pinggir jalan raya, maka semua masyarakat pun pindah.
Namun, lokasi lama masih dikelola masyarakat dan dijadikan sebagai kebun.
Banyak tanaman milik masyarakat yang masih ada hingga saat ini seperti kelapa, pisang, pinang dan ubi.
Dia berharap, pemerintah segera menuntaskan persoalan ini, dengan tidak menjadikan lahan milik warga sebagai kawasan hutan.
Persoalan tersebut telah disampaikan ke pemerintah kabupaten dan provinsi, tetapi sampai saat ini tidak ada solusinya.