"Kehidupan kami hancur, hak tradisional kami akan kayu, tempat berburu dan ikan, air bersih, obat-obatan, buah-buah habis semua. Ibu kami dihancurkan," ujar Benediktus.
Di tahun 2015, masyarakat adat pertama kali melakukan aksi damai menuntut hak atas tanah yang digusur di depan kantor PT SAWA.
"Beberapa perwakilan warga bertemu dengan perusahaan. Tapi yang terjadi, kami tidak bicara dengan perusahaan, tapi dengan polisi, perusahan hanya duduk mendengar saja."
Baca juga: Ritual Pakan Talun, Cara Dayak Tunjung Hormati Hutan
"Seakan-akan polisi itu bukan penengah tapi jadi perwakilan perusahaan, menawarkan ini itu, seolah-olah pemiliknya," katanya.
Kesepakatan tidak tercapai, perusahan pun menyerahkan permasalahan ke pemerintah daerah.
Di sisi lain, dewan adat mengeluarkan keputusan yang mendenda perusahaan sebesar Rp 15 miliar atas kerusakan yang dilakukan.
"Kita kemudian hearing ke pemda dan percaya bisa memberikan yang terbaik. Tapi sebaliknya, di kantor bupati kita bukan bahas lahan 4.000 hektare itu, tapi malah bertemu dan dihadapkan dengan saudara kita dari desa tetangga sehingga terjadilah perang mulut. Kami seperti diadu domba," katanya.
Baca juga: Padukan 2 Tari, Cara Suku Dayak Kenyah Bercerita soal Perang dan Damai
Beberapa waktu kemudian setelah pertemuan itu, terbitlah SK Bupati yang semakin mengkerdilkan wilayah Long Bentuq menjadi hanya 9.000 hektar - menghilangkan luas 4.000 hektar dari wilayah Desa Long Bentuq.
Masyarakat Adat Long Bentuq kemudian melapor ke Ombudsman RI, Komnas HAM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga presiden - namun hasilnya nihil.
"Tahun 2016, KLHK turun ke lapangan dan menemukan banyak pelanggaran lingkungan oleh perusahaan tapi setelah itu lenyap begitu saja."
Baca juga: Punahnya 2 Tradisi Suku Dayak Kenyah karena Perkembangan Zaman
"Kami kebingungan, sudah lelah, tidak ada dana, terpaksa kami istirahat, sambil berpikir cara apalagi yang harus ditempuh. Di sisi lain perusahaan terus beroperasi," katanya.
Lalu pada awal tahun 2021, masyarakat kembali meminta perusahaan datang ke desa untuk musyawarah namun diindahkan sehingga muncu aksi demonstrasi pemortalan pada 30 Januari yang berujung pada laporan ke polisi.
"Kami berdemo karena kehabisan akal harus bagaimana lagi. Semua cara sudah dilalui tapi tidak direspon," katanya.
Baca juga: Mengenal Ritual Lemiwa Suku Dayak Kenyah yang Dipercayai Mengusir Virus Corona
Pertama, menggunakan orang-orang simbolik yang tidak berkepentingan atas lahan sebagai representasi dalam memberikan izin.
"Bisa jadi kepala kampung, camat, lurah, mereka yang bukan pemilik lahan sehingga seolah-olah seluruh warga sudah setuju, jadi tidak dilaksanakan free, prior and informed consent (FPIC) di mana masyarakat dilibatkan sebesar-besarnya," kata Margaretha.
Baca juga: Sejarah Suku Tidung, Kerabat Suku Dayak
Jika langkah pertama tidak berhasil, maka dilakukan modus kedua yaitu "mengadu domba" baik antar warga dalam desa maupun dengan desa tetangga.
"Untuk di kasus Long Bentuq dari awal masyarakat sudah menolak, maka perusahaan menggunakan taktik lain yaitu meminta izin dari kampung sebelah," ujar Margaretha.
Untuk melegalkan cara ketiga, diterbitkan surat keputusan melalui pemerintah daerah yang mengesahkan lahan konflik itu masuk ke wilayah tetangga yang telah bekerja sama dengan perusahaan.
Baca juga: Masyarakat Adat Dayak Lundayeh Bentangkan Merah Putih di Ketinggian 1.103 Meter, Ini Tujuannya
"Sehingga menjadi masalah batas wilayah adat dan membenturkan dua kelompok masyarakat, mengaburkan permasalahan utama antara masyarakat dan perusahaan, " kata Margaretha
Modus tersebut hampir terjadi di seluruh wilayah Kaltim, contoh nyata selain di Long Bentuq adalah di Muara Tae, Kutai Barat, Kalimantan Timur.
"Makanya konflik sosial terjadi saat konflik agraria," katanya.
Cara keempat adalah melakukan intimidasi dan kriminalisasi lewat jalur hukum.
"Bayangkan demo yang tidak merusak apapun harus dipanggil dengan cara agak mengerikan, enam mobil polisi dengan senjata lengkap seolah-olah mau ditangkap dan dimasukkan penjara. Itukan cara mengintimidasi masyarakat, membuat masyarakat takut.
Baca juga: Dugaan Korupsi Penanaman Kelapa Sawit di PTPN XIII, Kejati Kalbar Tangkap 5 Orang
"Jadi kalau mau tangkap, tangkap seluruh kampung itu yang berdemo. Jadi jangan ada sampai kriminalisasi di kasus yang dibuat-buat," katanya.
Margaretha juga menegaskan, seharusnya polisi mengusut dugaan pelanggaran yang dilakukan perusahaan karena menggunakan jalan umum untuk lalu lintas transportasi sawit.
Pasal 6 ayat 1 Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur nomor 10 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Jalan Umum dan Jalan Khusus untuk Kegiatan Pengangkutan Batubara dan Kelapa Sawit berbunyi, "setiap angkutan batubara dan hasil perusahaan perkebunan kelapa sawit dilarang melewati jalan umum".
"Jadi siapa yang menyalahi aturan sebenarnya perusahaan atau masyarakat? Tapi giliran masyarakat melapor belum tentu diterima," katanya.
Baca juga: Dugaan Plagiat Hasil Karya, Seorang Pengusaha Laporkan Perusahaan Alat Panen Sawit
Margaretha mencontohkan, masyarakat adat Modang Long Wei pernah melaporkan perusahaan ke polisi karena sudah menyalahi tata cara pembukaan lahan, hingga mencemari sungai. Namun laporan itu menguap ditelan angin.
"Sementara masyarakat hanya tutup jalan langsung ditangkap dengan senjata lengkap," katanya.