Tukidi menceritakan, pada 1990, ada perusahaan yang hendak membangun hotel. Lahan yang ada di sekitar rumahnya kemudian dibeli untuk pembangunan hotel.
Empat tetangganya saat itu juga turut melepas tanah mereka. Namun saat tanahnya ditawar akan dibeli, Tukidi tidak melepasnya.
Tukidi menyampaikan alasannya tidak melepas tanahnya karena saat itu harga yang ditawarkan tidak sesuai dengan yang diinginkannya.
"Sebenarnya boleh dibeli asal harganya cocok. Dulu tawaran Rp 25 ribu per meter tahun 90, saya tidak mau," urainya.
Baca juga: Fenomena Hujan Es Terjadi di Nganjuk dan Sleman, Sebesar Kelereng hingga Video Viral
Akibatnya, ketika hotel dibangun, rumahnya masih tetap berdiri. Posisinya diapit oleh pagar hotel.
Bapak dua orang anak ini mengaku tidak menyesal dengan keputusannya saat itu, sebab harga tanah terus naik. Apalagi posisi tanahnya tepat berada di pinggir jalan utama.
"Kalau dulu dilepas malah uangnya sekarang udah habis. Kalau mau dijual, sekarang ibaratnya ditinggal tidur saja, harga tanah ini sudah naik sendiri, tapi ya saya menjaga warisan," bebernya.
Diceritakannya, rumah yang ditempatinya saat ini tidak banyak mengalami perubahan.
Meski sederhana, tapi rumah kakek empat orang cucu ini, tampak rindang dan sejuk.
"Lahan yang di belakang rumah saya tanami pohon pisang, ada sekitar 20-an. Kalau panen ya lumayan, bisa menyokong untuk bayar pajak," ucapnya sambil tertawa.
Baca juga: PN Semarang Eksekusi Rumah di Tengah Jalan Tol Batang-Semarang
Selain sebagai tempat tinggal, rumah Tukidi juga menjadi warung makan.
Ruangan tengah terdapat meja tempat untuk pembeli maka . Sedangkan di bagian depan dipasang estalase untuk meletakan berbagai lauk.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.