Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Petani Usia 75 Tahun Jadi Tersangka karena Tebang Pohon Jati yang Ditanam Sendiri

Kompas.com - 26/02/2021, 14:24 WIB
Rachmawati

Editor

"Jika hakim cermat, hakim pasti akan membebaskan mereka," ucapnya.

Adapun menurut Edy Wahid, pengacara publik di Lembaga Bantuan Hukum Makassar, polisi dan jaksa "salah sasaran".

Baca juga: Tindakan Represif hingga Kriminalisasi Warnai Aksi Aparat Hadapi Konflik Lahan

Yang semestinya dijerat UU P3H, kata dia, adalah orang dari luar kampung yang sengaja membuka lahan atau menebang pohon di kawasan hutan demi keuntungan pribadi.

"Kami akui sejak beberapa tahun terakhir banyak lahan baru yang dibuka di kawasan hutan. Tujuannya untuk komersial. Mereka masuk dari luar kawasan hutan," kata Edy.

"Harusnya mereka yang betul-betul melanggar ini yang ditindak, bukan petani kecil seperti Pak Natu dan keluarganya yang turun-temurun menggantungkan hidup pada hasil hutan. Kalau dinyatakan terlarang untuk orang-orang seperti Natu, hilang hak mereka atas kehidupan yang layak dan hilang juga masa depan mereka," ujar Edy.

Baca juga: Duduk Perkara Konflik Lahan PTPN II, hingga 170 Petani Sumut Nekat Jalan Kaki ke Jakarta

Namun Juru Bicara Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Idil, menyebut vonis bersalah untuk Ario, Natu, dan Sabang penting untuk memicu efek jera perusak hutan.

Penebangan di hutan lindung, kata Idil, selama ini terbukti menjadi pemicu masifnya bencana seperti banjir maupun longsor.

Idil mengeklaim selama ini tidak pernah ada upaya kriminalisasi terhadap para petani di Soppeng.

Para jaksa pun, kata dia, telah menjalankan anjuran Jaksa Agung ST Burhanudin untuk "menegakkan hukum dengan hati nurani".

"Penebangan di hutan lindung akan berakibat terhadap lingkungan. Penetapan hutan lindung kan demi pelestarian lingkungan, agar tidak ada banjir yang berdampak pada masyarakat," ujar Idil.

Baca juga: Konflik Lahan Sengketa, Seorang Ibu Dicekik dan Dibanting hingga Terkapar, Ini Ceritanya

Bagaimana supaya tidak terjadi lagi pemidanaan seperti ini?

Petani di Bengkalis, Bongku, dihukum satu tahun penjara karena menanam di lahan ulayat yang kini dikuasai perusahaan swasta.LBH Pekanbaru Petani di Bengkalis, Bongku, dihukum satu tahun penjara karena menanam di lahan ulayat yang kini dikuasai perusahaan swasta.
Konsorsium Pembaruan Agraria mendorong Kementerian Lingkungan dan Kehutanan mengeluarkan 502 desa dari kawasan hutan milik negara maupun hutan yang dikuasai perusahaan lewat beragam jenis izin.

"Tapi sejak penyerahan dokumen itu sampai sekarang, belum satu pun desa yang dilepaskan dari klaim kawasan hutan," kata Roni Maulana.

Bukan hanya di Soppeng, sejumlah warga adat dan petani di daerah lain juga dihukum atas tuduhan penebangan di kawasan hutan tanpa izin.

Bulan Mei 2020 misalnya, Bongku, seorang warga Adat Sakai di Bengkalis, Riau, dijatuhi hukuman penjara selama satu tahun.

Baca juga: Konflik Tanah di Kerinci Tewaskan 1 Orang, Kapolda Turun Tangan

Bongku dinyatakan bersalah saat hendak menanam ubi di tanah ulayatnya. Lahan itu masuk kawasan hutan tanaman industri yang kini dikelola PT Arara Abadi, anak perusahaan Sinar Mas.

Bagaimanapun, para petani di Soppeng masih terus memperjuangkan apa yang mereka anggap kebeneran.

Ario, Natu, dan Sabang mengajukan banding atas putusan bersalah yang mereka terima.

Walau tidak diperintahkan untuk mendekam ke penjara, putusan bersalah itu mereka anggap akan menjadi pintu gerbang pemidanaan terhadap petani di Soppeng.

Baca juga: Cerita Jusuf Kalla Selesaikan Konflik Aceh: Pada Akhirnya Semua Menang...

"Kami tetap perjuangkan agar dia dinyatakan tidak bersalah. Ini bukan persoalan hukum semata, tapi masalah sosial, ekonomi, dan budaya," kata Edy dari LBH Makassar.

Sementara itu tiga petani Soppeng lain yang divonis bebas tahun 2018 kini menggugat ganti rugi atas proses penangkapan dan penahanan yang mereka jalani.

Mereka mengatakan proses hukum yang mereka alami telah mengacaukan psikologis dan kondisi keuangan keluarga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com