Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Petani Usia 75 Tahun Jadi Tersangka karena Tebang Pohon Jati yang Ditanam Sendiri

Kompas.com - 26/02/2021, 14:24 WIB
Rachmawati

Editor

"Apakah pohon dan tanaman yang sudah kami tanam sendiri masih bisa kami ambil?" kata Arida.

Hal itu juga diutarakan Sidu, warga Ale Sewo lainnya.

"Saya tidak pernah melihat orang dinas kehutanan di daerah ini, tapi sekarang mereka klaim semuanya sebagai hutan lindung. Saya tidak tahu karena pemerintah tidak pernah kasih tahu apa pun. Tidak pernah. Sekarang tiba-tiba ada masalah," ujar Sidu.

Juli 2016, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar menerbitkan surat keputusan tentang penunjukan kawasan hutan di Sulawesi Selatan seluas 2,7 juta hektare. Penunjukan itu lalu diikuti surat penetapan yang juga diteken Siti tahun 2019.

Baca juga: Petani Food Estate di Sumut Mulai Panen

Merujuk surat keputusan tersebut, hutan lindung di wilayah Soppeng terbentang seluas 45,9 ribu hektare. Hutan lindung di Soppeng dan Kabupaten Wajo dikelola KPH Walanae.

Perkampungan dan ladang warga ada yang dimasukkan ke kawasan hutan itu, tanpa proses negoisasi dan sosialisasi, kata Roni Septian Maulana, kepala divisi advokasi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

"Proses penunjukan dan penetapan kawasan hutan itu tidak dilakukan secara partisipatif. Masyarakat tidak pernah dilibatkan, di mana sih sebenarnya batas-batas hutan.

"Jadi proses itu berpotensi memunculkan penggusuran, perampasan tanah, dan kriminalisasi," kata Roni.

Baca juga: Stres Tanaman Jagung Diserang Hama Tikus, Petani di Dompu Tenggak Racun Serangga

Bantahan pemerintah

Namun orang nomor satu di unit pengelola kawasan hutan di Kabupaten Soppeng dan Wajo, Muhammad Junan, menyanggah semua keterangan tadi.

"Dari dulu kami sudah lakukan sosialisasi. Jadi di lapangan masyarakat sebenarnya sudah tahu batas-batasnya.

"Kebun itu kan ada di hutan lindung, jadi tidak boleh dilakukan penebangan. Kalaupun untuk digunakan sendiri, harus ada izin dari pejabat berwenang," kata Junan.

Pemerintah, kata Junan, juga sudah menyediakan berbagai skema yang tetap memungkinkan masyarakat memanfaatkan hasil di kawasan hutan.

Baca juga: Asosiasi Sebut Pandemi Covid-19 Justru Bikin Petani Sawit Makin Sejahtera, Apa Alasannya?

"Ada sistem perhutanan sosial, jadi mereka bisa mengelola kebun di kawasan hutan dengan skema hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat.

"Kalau mereka mau melakukan aktivitas dalam kawasan, ajukan dulu skema itu. Apalagi kalau sampai mau melakukan penebangan," ujar Junan.

Selain tiga skema yang disebut Junan, perhutanan sosial juga mencakup hutan adat dan kemitraan kehutanan.

Baca juga: Tanaman Jagungnya Dimakan Hama Tikus dan Babi, Petani Bunuh Diri

Rezim pemerintahan Jokowi mengklaim sistem perhutanan sosial dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat dan petani lokal.

Jokowi menargetkan 12,7 hektare lahan perhutanan sosial dapat diserahkan ke masyarakat hingga tahun 2024.

Namun sejak digulirkan tahun 2015, capaian program ini baru mencapai 4,2 juta hektare per September 2020.

Baca juga: Ratusan Hektar Persawahan Terancam Gagal Panen, Petani Bojonegoro Diimbau Ikuti Asuransi

Patutkah para petani ini divonis bersalah?

Tiga petani Soppeng yang divonis bebas tahun 2018, yaitu Jamadi, Sukardi, dan Sahidin bersama dua penasehat hukum mereka.LBH Makassar Tiga petani Soppeng yang divonis bebas tahun 2018, yaitu Jamadi, Sukardi, dan Sahidin bersama dua penasehat hukum mereka.
Sebelum kasus Ario, Natu, dan Sabang, pada tahun 2017 tiga petani di Soppeng juga terjerat kasus yang sama. Mereka adalah Sahidin, Jamadi, dan Sukardi.

Ketiganya ditahan 150 hari sebelum akhirnya dibebaskan tahun 2018. Majelis hakim Pengadilan Negeri Watansoppeng waktu itu menganggap tiga petani itu tidak bersalah walau menebang pohon di kawasan hutan lindung.

Dalam putusannya, ketika itu majelis hakim menyatakan jaksa tidak semestinya menjerat petani dengan UU P3H. Alasannya, aturan itu ditujukan untuk perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisir.

KPA bersama tiga guru besar ilmu hukum, yaitu Profesor Maria Sumardjono, Profesor Achmad Sodiki, dan Profesor Hariadi Kartodihardjo, mengingatkan hakim agar merujuk putusan bebas itu saat mengadili Ario, Natu, dan Sabang.

Baca juga: 1.085 Hektar Sawah di Karawang Kena Banjir, Petani Peserta Asuransi Pertanian Bisa Ajukan Klaim

Mereka mengajukan pendapat hukum sebagai pihak ketiga secara sah lewat prosedur amicus curiae.

"Sebenarnya dalam pasal 1 dan 11 UU P3H mengecualikan, bahwa pemidanaan tidak berlaku untuk masyarakat adat atau petani yang telah bermukim di kawasan hutan dan tidak menebang kayu untuk bisnis seperti korporasi yang menebang ribuan hektare lahan," kata Roni dari KPA.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com