Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah 4 Ibu Terdakwa Pelemparan Atap Pabrik Tembakau, Bawa Balita ke Penjara, Kini Kasusnya Ditangguhkan

Kompas.com - 26/02/2021, 06:07 WIB
Rachmawati

Editor

"Jujur kami semua tidak tahu ada kasus ini, kami baru tahu begitu ada pemberitaan. Kami mohon maaf, dan kami sudah tidak punya waktu lagi untuk bisa mediasi. Seandainya kami semua tahu sebelumnya saya yakin tidak akan seperti ini," kata Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB Husnanidiaty Nurdin.

Menurut Husnanidiaty, Pemprov NTB memiliki wadah balai mediasi yang bisa digunakan untuk menangani kasus seperti ini.

Baca juga: Demo di PLTU Paiton, Aktivis Lingkungan Menduga Tumpahan Batu Bara Rusak Ekosistem Laut

"Saya tidak tahu dimana kusutnya, secara serentak kami kaget bahwa ada kasus seperti ini," katanya.

Terkait dengan keluhan masyarakat, Husnanidiaty menambahkan Pemprov akan mengambil langkah cepat.

"Saya yakin dan percaya kami pemerintah NTB dan Lombok Tengah akan segera turun tangan menyelesaikan akar permasalahan di lapangan."

"Mungkin proses di pengadilan berjalan terus tetapi proses di lapangan kan harus diselesaikan, harus ada jalan keluarnya, tidak bisa dibiarkan begitu saja. Tidak lama akan bisa diselesaikan, " ujarnya.

Baca juga: Raih Kalpataru 2020, Bukti Kukuhnya Masyarakat Dayak Punan Menjaga Hutan Adat

Polda NTB: Kami telah mediasi

Kabid Humas Polda NTB, Kombes Pol Artanto, menjelaskan setelah kejadian pelemparan, pihak pabrik mengadu ke kepolisian agar masalah itu bisa diselesaikan.

Langkah selanjutnya yang diambil adalah dilakukan mediasi antara pihak kepolisian, kepala desa, pelaku, serta warga, namun tidak ditemukan titik penyelesaian.

"Kemudian 18 Januari, Suwardi [pemilik pabrik] melaporkan ke kepolisian, dan dilanjutkan dengan pemberkasan, namun ibu tidak dilakukan penahanan," katanya.

Artanto menambahkan, kejadian pengerusakan terhadap pabrik telah terjadi sebelumnya.

Baca juga: Perampasan Hutan Adat di Papua, Walhi: Siapa yang Sebenarnya Dilindungi Negara?

Pernah ada warga sebelumnya yang melempar lalu dimediasi dan dilakukan perdamaian. Kemudian, mobil pemilik pabrik dilempar sehingga kaca pecah lalu dilakukan mediasi dan berdamai.

"Lalu terjadi pelemparan ini, dan dimediasi namun tidak terjadi kesepakatan damai, dan dilanjutkan ke proses hukum,"katanya.

Saat ditanya mengapa menggunakan Pasal 170 atas tindakan pelemparan, Artanto menjelaskan karena dilakukan berempat, di muka umum dan terhadap barang atau orang.

"Jadi menggunakan batu dan kayu dilempar ke seng, pada saat itu karyawan tembakau sedang bekerja, dan mereka takut sehingga bubar,"katanya.

Baca juga: Kisah Pilu Habisnya Hutan Adat di Papua demi Perluasan Lahan Kelapa Sawit...

'Kami telusuri keluhan warga'

Inilah dua dari 4 ibu asal Desa Wajagrseng yang ditahan, di Rutan Praya Lombok Tengah, gara gara melempar pabrik tembakau milik H.Sihardi. Mereka ditahan di Rutan sejak Kamis (18/2/2021) dan Sabtu (20/2/2021) mereka dijengung keluarganya.FITRI R Inilah dua dari 4 ibu asal Desa Wajagrseng yang ditahan, di Rutan Praya Lombok Tengah, gara gara melempar pabrik tembakau milik H.Sihardi. Mereka ditahan di Rutan sejak Kamis (18/2/2021) dan Sabtu (20/2/2021) mereka dijengung keluarganya.
Terkait keluhan warga atas dugaan pencemaran lingkungan akibat polusi asap yang ditimbulkan pabrik tersebut, Artanto mengatakan, polisi tengah melakukan pendalaman informasi.

"Ini sudah kita lakukan pendataan dan akan kita koordinasikan dengan pihak terkait tentang masalah perizinan, amdal dan sebagainya. Kita akan tindaklanjuti permasalahan tersebut," ujarnya.

Saat ditanya mengenai adanya dugaan pengalihan isu seperti yang disebut aktivis, Artanto membantah hal tersebut.

"Keluhan itu sudah disampaikan ke DPRD dan sudah dilakukan rapat dengar pendapat, mediasi di kantor DPRD pada September lalu beberapa kali yang melibatkan dinas lingkungan, dinas perizinan dan sama-sama mengecek pabrik. Prosesnya sudah berlangsung," kata Artanto.

Baca juga: Perjuangan Warga Kampung Long Isun Lawan Alih Fungsi Lahan demi Lestarinya Hutan Adat

Sebelumnya, dalam siaran pers yang diterima BBC News Indonesia, Kejaksaan Tinggi NTB membantah melakukan penahanan empat IRT bersama anaknya.

"Melainkan keluarga terdakwa dengan senjaga membawa anak di Polsek Praya Tengah maupun di Rutan Praya untuk ikut bersama para terdakwa berdasarkan izin pihak rutan," kata Kasipenkum Kejati NTB Dedi Irawan.

Alasan jaksa menahan para tersangka adalah karena para terdakwa berbelit belit dan tidak kooperatif saat pemeriksaan.

Baca juga: Protes Pembabatan Hutan Adat di Pulau Seram, Mahasiswa Demo di Kantor DPRD

Terdakwa juga sempat diberikan kesempatan untuk berdamai melalui upaya restoratif justice namun ditolak.

Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), hingga tahun 2018 tercatat 163 orang dikriminalisasi karena memperjuangkan lingkungan mereka.

Khusus di Pulau Jawa, Walhi mencatat dari 2014-2019 terdapat 146 kasus dugaan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup - terbanyak 103 kasus di Jawa Timur.

Jumlah tersebut terus bertambah hingga kini seiring semakin rapatnya gesekan antara masyarakat dengan pengusaha terkait lingkungan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com