Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penjelasan Lengkap 4 Petugas Forensik Tersangka Penistaan Agama hingga Dibebaskan

Kompas.com - 25/02/2021, 13:26 WIB
Teguh Pribadi,
Abba Gabrillin

Tim Redaksi


PEMATANGSIANTAR, KOMPAS.com - Kejaksaan Negeri Pematangsiantar, Sumatera Utara, menyatakan kasus penistaan agama oleh 4 tenaga forensik di RSUD Djasamen Saragih tidak terdapat cukup bukti.

Kejari Pematangsiantar mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) atas kasus tersebut.

Keempat 4 tersangka akhirnya bebas dari tuntutan hukum.

Kepala Kejaksaan Negeri Pematangsiantar Agustinus Wijono mengatakan, penyidik Polres Pematangsiantar sebelumnya telah menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.

Baca juga: ICJR Sayangkan Penetapan Tersangka 4 Petugas Forensik karena Mandikan Jenazah Wanita

Kemudian berkas dinyatakan lengkap pada 2 Februari 2021 oleh jaksa peneliti.

Selanjutnya, pada 18 Februari 2021 diserahkan tanggung jawab dari penyidik polisi ke Kejaksaan Negeri Pematangsiantar.

Agustinus menjelaskan, sebelum berkas perkara diserahkan ke Pengadilan Negeri Pematangsiantar, penuntut umum menentukan, apakah berkas perkara telah memenuhi syarat atau tidak.

"Setelah saya, selaku Kajari melakukan penelitian atas layak atau tidaknya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri berdasarkan kewenangan dan undang-undang, maka dalam hal ini ditemukan atau kekeliruan dari jaksa peneliti dalam menafsirkan unsur, sehingga tidak terpenuhinya unsur-unsur yang didakwa kepada para terdakwa," kata Agustinus saat konferensi pers di Kantor Kejari Pematangsiantar, Rabu (23/2/2021).

Kronologi kasus menurut jaksa

Agustinus menjelaskan, almarhum Z meninggal dunia pada 20 September 2020, pukul 16.38 WIB di RSUD Djasamen Saragih.

Pasien diduga meninggal akibat Covid-19 setelah dirawat isolasi selama dua hari.

Selanjutnya, pada pukul 20.00 WIB, dilakukan pemulasaraan terhadap jenazah oleh 4 petugas forensik di ruang instalasi jenazah di Ruang Forensik RSUD Djasamen Saragih.

Baca juga: Petugas Forensik Jadi Tersangka karena Mandikan Jenazah, Kerja 24 Jam akibat Kurang Tenaga

Suami almarhum, FM melihat jenazah dimandikan oleh laki-laki, yakni keempat petugas forensik yang secara Islam dianggap bukan muhrimnya.

Keempat petugas memandikan jenazah hingga mendokumentasikan proses pemulasaraan.

FM melihat langsung kejadian tersebut melalui pintu kamar jenazah.

FM kemudian merasa keberatan, karena sebelumnya mendapat pemberitahuan bahwa yang memandikan istrinya adalah petugas yang mendapat sertifikasi Bilal Mayit dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pematangsiantar.

Namun, tidak dijelaskan petugas tersebut berjenis kelamin laki-laki atau perempuan.

FM kemudian melaporkan kasus tersebut ke Polres Pematangsiantar.

Pasal yang disangkakan kepada keempat petugas forensik adalah Pasal 156 huruf a KUHP tentang penistaan agama, jo Pasal 55 ayat 1 KUHP.

 

Tidak ada niat penodaan agama

Menurut Agustinus, pihaknya tidak mendapat cukup bukti penistaan agama dalam kasus tersebut.

"Menghentikan penuntutan perkara pidana atas nama terdakwa, karena tidak terdapat cukup bukti. Kami ulangi, tidak ditemukan cukup bukti," kata dia.

Meski demikian, ia menjelaskan bahwa SKP2 dapat dicabut kembali apabila di kemudian hari terdapat alasan baru yang diperoleh penuntut umum.

Kemudian, berlanjut apabila ada putusan praperadilan atau telah mendapat putusan akhir pengadilan tinggi yang menyatakan penghentian penuntutan tidak sah.

"Dalam perkara yang dilimpahkan ke pengadilan salah satu unsur tidak terbukti, maka itu akan bebas," kata Agustinus.

Ia menjelaskan, ada unsur yang tidak terbukti dalam kasus tersebut, yakni unsur kesengajaan dalam Pasal 156 huruf a jo Pasal 55 ayat 1 KUHP tentang penistaan agama.

"Unsur sengaja melakukan penistaan. Nah di sini akan terkait antara unsur depan dan belakang. Jadi kesengajaan di sini mutlak dilihat dari niat para pelaku yang menghendaki penodaan agama," kata dia.

Dalam berkas perkara, keempat tersangka mengakui melakukan pemulasaraan jenazah karena semata-mata bertujuan untuk membersihkan kotoran jenazah yang masih melekat di dalam tubuh jenazah.

Selanjutnya, menurut Agustinus, dihubungkan dengan kondisi yang mendesak, di mana pasien suspect Covid-19, maka petugas tidak menunggu waktu lama dalam penanganannya, sehingga perbuatan para tersangka memang harus dilakukan.

"Sehingga dengan demikian, niat jahat atau mens rea dari empat terdakwa untuk menodai agama Islam atau agama yang dianut di Indonesia, dengan cara memandikan jenazah wanita muslim yang bukan muhrim dan membuka pakaian sampai telanjang, tidak ditemukan adanya niat dari para terdakwa," kata Agustinus.

"Jadi kami simpulkan unsur kesengajaan tidak ditemukan dalam perkara ini. Para pelaku melakukan tugasnya pemulasaraan pasien suspect Covid-19," katanya menambahkan.

Selain itu, unsur kesengajaan di muka umum yang tidak terbukti.

Dari keterangan saksi dan para tersangka, diperoleh fakta bahwa rumah sakit khususnya ruang instalasi jenazah bukan tempat umum.

Ruang instalasi jenazah forensik RSUD Djasamen saragih bebas dikunjungi untuk umum.

Namun, tidak semua orang bisa memasukinya, sehingga tidak bisa disebut sebagai tempat umum.

Selain itu, sesuai Peraturan Presiden (Perpres) 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana non-alam, penyebaraan Covid-19 sebagai bencana nasional.

"Maka akses masuk ke ruangan tersebut sangat terbatas, maka dengan demikian unsur di muka umum itu tidak terbukti," kata dia.


Selanjutnya unsur mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan suatu agama yang tidak terbukti.

Agustinus menjelaskan bahwa pemandian jenazah yang bukan muhrimnya, bukan dengan maksud untuk melakukan penodaan agama atau pelecehan agama.

Namun, perbuatan itu murni dilakukan untuk melakukan tugas, berdasarkan surat keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar yang dikeluarkan dalam kondisi darurat sesuai dengan Perpres 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana non-alam penyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional.

Dengan demikian, pelanggaran prosedur yang dilakukan 4 terdakwa belum termasuk sebagai perbuatan penodaan agama.

"Unsur mengeluarkan perasaan melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan suatu agama yang dianut di Indonesia tidak terpenuhi dalam perkara ini," kata Agustinus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com