Menurut Dedi, ada pelajaran yang dapat diambil dari bencana tanah bergeser ini. Pertama, kata dia, hindari eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dan tidak ramah lingkungan.
Kedua, sesuaikan pembangunan dengan karakter lingkungan.
"Modernisasi tidak harus memaksa alam menyesuaikan pada kita, justru kita yang harus menyesuaikan dengan alam," tegasnya.
Lebih lanjut, Dedi mengatakan, nantinya ada pengembangan di bidang peternakan domba, kerbau, dan sapi di area rumah panggung khas Sunda ini.
"Di situ (cuaca) dingin, cocok (mengembangkan peternakan). Polanya terintegrasi," katanya.
Pengembangan di sejumlah bidang ini, menurut Dedi, sangat penting. Musababnya, saat ini masyarakat sudah kehilangan kepercayaan diri terhadap lingkungan.
"Dalam pikirannya bahwa lingkungan tidak menunjang untuk ekonomi. Padahal, jika dikelola dengan baik, peternakan, perikanan terintegrasi dengan alam, ujungnya pariwisata," jelas Dedi.
Dia menambahkan, pariwisata tidak berkembang karena tidak ada sesuatu yang bisa dilihat.
Gunung-gunung yang indah, kata Dedi, tidak jadi indah karena tata arsitek lingkungannya sudah tidak menunjang.
"Kemudian kultur publik juga tidak menunjang. Kalau di Bali, tata arsitek lingkungan dan kultur menunjang," ucapnya.
Menurut Dedi, orang Bali kuat terhadap budaya.
"Kenapa kita tidak kuat dengan budaya lingkungan? Kenapa Bali bisa, Sunda enggak bisa? Apa problemnya?" tegas Dedi.
Baca juga: Dentuman Sebanyak Dua Kali Terdengar di Lokasi Bencana Tanah Bergerak Sukabumi
Setiap daerah yang memiliki kultur kuat, lanjut dia, pasti ekonominya kuat. Wisatawan pasti datang ke daerah itu.
"Setiap daerah yang mengalami kesemrawutan lingkungan karena lemahnya kultur, pasti ada kekacauan ekonomi, kekacauan manusia, bencana, itu problem," jelasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.