Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjuangan AKUR Sunda Wiwitan Cigugur demi Status Masyarakat Hukum Adat

Kompas.com - 22/02/2021, 13:20 WIB
Muhamad Syahri Romdhon,
Abba Gabrillin

Tim Redaksi

KUNINGAN, KOMPAS.com – Warga Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan Cigugur Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, menyesalkan Surat Keputusan Bupati Kuningan Acep Purnama yang menolak pengajuan status masyarakat hukum adat.

AKUR Sunda Wiwitan akan terus memperjuangkan hingga mendapatkan status tersebut.

“Kami akan terus berjuang. Status masyarakat hukum adat merupakan legal standing untuk eksistensi dan keberlangsungan Sunda Wiwitan Cigugur ke depannya,” kata Girang Pangaping AKUR Sunda Wiwitan Djuwita Djatikusumah Putri kepada Kompas.com saat ditemui di Paseban Tri Panca Tunggal, Senin (15/2/2021).

Baca juga: Sejarah Tumpeng dalam 2 Versi, dari Kepercayaan Kapitayan dan Sunda Wiwitan

Djuwita menyampaikan, keputusan penolakan yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan menciderai warga AKUR Sunda Wiwitan.

Pemda Kuningan dinilai menetapkan hukum yang bersayap.

“Menurut kami, Pemda mengakui tapi tidak mau melegitimasi eksistensi kita (AKUR Sunda Wiwitan). Bagaimana keberadaan kita dari tahun ke tahun, dan seterusnya. Pemda setengah hati,” kata Djuwita yang menjadi pendamping komunitas adat itu.

Kronologi penolakan

Sebelumnya, Pemda Kabupaten Kuningan menolak pengajuan status masyarakat hukum adat (MHA) kepada warga AKUR Sunda Wiwitan.

Penolakan itu tertuang dalam surat yang ditandatangani Bupati Kuningan Acep Purnama pada Selasa (29/12/2020).

Melalui surat bernomor 189/3436/DPMD, Acep Purnama menyampaikan, Pemkab Kuningan telah menerima dan menindaklanjuti surat pengajuan penetapan masyarakat hukum adat yang dilayangkan masyarakat AKUR Sunda Wiwitan dengan surat nomor 19/Akur-Cigugur/IV/2020 pada 11 April 2020.

Baca juga: Jeritan Masyarakat Sunda Wiwitan: Ini Kesewenang-wenangan!

Tiga bulan berikutnya, yakni pada 16 Juli 2020, pemerintah merespons dengan membentuk tim Panitia Masyarakat Hukum Adat (PMHA) yang diketuai Sekretaris Daerah.

Sekretaris Daerah Kabupaten Kuningan Dian Rachmat Yanuar menyampaikan, dalam hal ini pemerintah mengacu pada Peraturan Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Melalui PMHA, Dian menyampaikan, pemerintah melakukan berbagai tahapan meliputi identifikasi, verifikasi, dan validasi.

Pemerintah juga menggelar kajian ilmiah yang melibatkan akademisi dan pakar di beberapa perguruan tinggi.

Selain itu, pemerintah juga mengumumkan hasil kajian tersebut kepada AKUR Sunda Wiwitan, dan memberikan kesempatan untuk memberi tanggapan.

“Hasil verifikasi dan validasi tersebut menjadi landasan Bupati untuk menolak penetapan masyarakat hukum adat Sunda Wiwitan Cigugur,” kata Dian saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (15/2/2021).

 

Alasan penolakan

Dian menerangkan, tim PMHA menentukan lima aspek yang berasal dari Permendagri Nomor 52 Tahun 2014.

Pengajuan AKUR Sunda Wiwitan, menurut tim PMHA, tidak memenuhi kelima aspek tersebut.

Kelima hal itu yakni sejarah masyarakat hukum adat, wilayah adat, hukum adat, harta kekayaan, dan kelembagaan sistem adat.

Kepala Seksi Kelembagaan Masyarakat Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Kuningan Iding Budiman menerangkan, versi sejarah keberadaan masyarakat AKUR Sunda Wiwitan masih beragam dan tidak tunggal.

Wilayah Adat AKUR Sunda Wiwitan tersebar di berbagai wilayah, tidak menetap dalam satu wilayah tertentu.

“Berdasarkan data dari AKUR Sunda Wiwitan tahun 2020, ada sebanyak 1.273 jiwa warga Sunda Wiwitan. 859 jiwa atau sekitar 67 persen tinggal di luar Kabupaten Kuningan, sisanya 414 atau sekitar 33 persen tinggal di Kabupaten Kuningan,” kata Iding.

Dari segi hukum adat, Sunda Wiwitan dinilai tidak menggambarkan tentang jenis kedudukan serta hirarkinya.

Penerapan hukum, menurut Iding, tidak dapat dilihat dengan terang benderang, misalnya penghargaan dan hukuman atau sangsi.

Soal harta kekayaan, Sunda Wiwitan dinilai belum menggambarkan harta kekayaan ini untuk pemanfaatan kelompok adat itu sendiri.

Kemudian terkait kelembagaan, pranata susunan AKUR Sunda Wiwitan dinilai tidak lengkap.

Dian menerangkan, dalam surat keputusan, Bupati Acep Purnama menyampaikan bahwa Pemda Kuningan mengikuti aturan Permendagri Nomor 52 Tahun 2014.

Namun, apabila terdapat data, informasi, dan bukti baru, maka penolakan status masyarakat hukum adat AKUR Sunda Wiwitan dapat ditinjau kembali.

 

Bantahan warga Sunda Wiwitan

Djuwita menilai bahwa pemerintah kaku dalam melakukan kebijakan.

Dia menilai, seluruh data berupa manuskrip, dokumen sejarah, dan lainnya yang diajukan AKUR Sunda Wiwitan kepada pemerintah tidak dibaca dengan baik.

Padahal, data tersebut sepatutnya dijadikan sumber kuat untuk melakukan kebijakan sesuai yang diharapkan.

Djuwita membantah lima aspek yang dijadikan alasan oleh tim PMHA.

Pertama, soal sejarah AKUR Sunda Wiwitan yang dinilai masih beragam.

Djuwita menjelaskan, sejarah yang diajukan AKUR justru berdasarkan amanat, perjalanan, dan tulisan tangan orisinil, bukan tafsir.

Beragam adalah sifat alamiah sebuah sejarah, bukan menjadi ganjalan utama pengakuan.

“Kedua, pemerintah menyebut wilayah adat Sunda Wiwitan tersebar. Ini kan perkembangan sejarah. Tidak melulu komunitas adat tinggal dalam satu tempat. Terlebih Cigugur yang memiliki prinsip memegang teguh ajaran spiritual adat meski di manapun berada. Nilai itu tertanam dalam hati dan kehidupan sehari-hari, tidak terbatas wilayah,” kata Djuwita.

Terkait hukum adat, Djuwita langsung menjawab bahwa AKUR Sunda Wiwitan sudah menyerahkan dokumen hukum adat kepada pemerintah daerah sebanyak satu bundel.

Isinya aturan hidup warga AKUR Sunda Wiwiatan dari sejak kelahiran, masa akil balig, pernikahan, hingga mengurus kematian.

Misalnya ada tradisi to-to-o-ngan, nenden omong, mengket tanah, dan lainya. Semuanya masih berlaku dan dijalani hingga hari ini.

Soal pemanfaatan harta kekayaan untuk warga adat, menurut Djuwita, Pemda seharusnya bertanya kepada warga.

Sunda Wiwitan berprinsip memberikan kebaikan dan manfaat tidak hanya bagi warga adat, tapi masyarakat luas.

Salah satu buktinya adalah tanah komunal warga adat yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum warga luas.

Begitupun pranata sistem kelembagaan yang juga sudah dijelaskan dalam data-data yang diserahkan pada Pemda.

Melihat keputusan itu, Djuwita menegaskan bahwa sikap Pemda Kuningan berkebalikan dengan sejumlah pandangan para pakar dalam webinar Diseminasi Hasil Verifikasi dan Validasi Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan Cigugur yang dilaksanakan Universitas Katolik Parahyangan pada Kamis (11/2/2021).

Para pakar mengemukakan bahwa AKUR Sunda Wiwitan layak diakui sebagai masyarakat hukum adat.

Praktisi dan ahli antropog Indonesia Yando Zakaria menyampaikan, Permendagri 52 Tahun 2014 memiliki makna pengakuan bersyarat.

Yando mengemukakan pemaparan Satjipto Rahardjo bahwa pengakuan yang bersyarat merupakan ekspresi kedaulatan negara.

Namun, apabila syarat mengakibatkan obyek pengakuan yang disasar menjadi terhambat, maka syarat itu perlu diperiksa.

Lebih lanjut, Yando mengkritisi lima syarat yang jadikan alasan pemerintah daerah.

Dia mempertanyakan, apakah lima syarat itu bersifat akumulatif atau fakultatif.

“Akumulatif artinya warga adat harus memenuhi kelimanya, atau cukup fakultatif, cukup dipenuhi satu atau lebih dari syarat itu. Kalau itu akumulatif, maka kita dzolim terhadap masyarakat adat. Kenapa? Karena dari lima kriteria itu, sedikit banyaknya sudah dirusak oleh berbagai kebijakan negara, baik negara kolonial, atau negara Indonesia,” kata Yando mengutip penjelasan Jimly Asshiddiqie.

Djuwita mengatakan, hingga saat ini AKUR Sunda Wiwitan masih terus berkomunikasi dan berkoordinasi dengan sejumlah pakar dan pihak lain.

Mereka sedang mempersiapkan strategi untuk menanggapi surat keputusan Bupati Kuningan Acep Purnama yang menolak Sunda Wiwitan sebagai masyarakat hukum adat.

Tulisan ini adalah bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Norwegian Embassy untuk Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com