Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjuangan Keluarga Iskandar Merawat Aksara Incung yang Berusia 1.000 Tahun

Kompas.com - 21/02/2021, 20:54 WIB
Suwandi,
Farid Assifa

Tim Redaksi

JAMBI, KOMPAS.com – Generasi terakhir keturunan pengguna aksara incung terus melanjutkan estafet pewarisan aksara incung kepada generasi muda, bahkan menembus batas ke ranah digital.

Iskandar Zakaria, pengguna aksara incung terakhir, telah tutup usia, September 2020 lalu. Namun ilmunya telah diwariskan kepada anak-cucu dan murid bahkan abadi dalam buku-buku.

Kompas.com menelusuri peranan dan jejak pewarisan Iskandar kepada anak dan cucu, lalu murid-muridnya serta buku-buku.

Iskandar lahir di Sungaipenuh, Kerinci, Jambi. Anak ke-7 dari 12 bersaudara dari pasangan Zakaria dan Rahma ini memiliki darah Minang. Sejak menjadi pegawai pada 1966, Iskandar sudah tertarik dengan incung.

“Semenjak jadi pegawai, Ayah mulai tertarik dengan incung. Pada 1970-an, Ayah sudah bisa membaca dan menulis incung serta membaca naskah-naskah tua beraksara incung,” kata anak sulungnya, Meizatety Qadarsih melalui sambungan telepon, Jumat (19/2/2021).

Kemampuan membaca dan menulis incung diperoleh Iskandar dari Abdul Kadir Djamil dan M Kabul Ahmad.

Meizatety ingat betul dengan mata kepalanya melihat Iskandar membaca naskah tua, kemudian menulisnya berulang-berulang setiap hari, huruf demi huruf pada media berbeda, tidak hanya kertas melainkan tanduk, bambu dan kain sebagai kerajinan batik.

Bangunan dua lantai rumah Iskandar selalu ramai anak-anak muda untuk belajar incung. Termasuk Meizatety, semenjak ibunya meninggal pada 2015 lalu, dia memilih hijrah dari Palembang ke Sungaipenuh dan kembali mempelajari incung.

Menetapnya anak sulung di Sungaipenuh membangkitkan gairah Iskandar untuk menurunkan ilmu aksara incung.

“Kami diajarkan bentuk-bentuk huruf dan tanda bacanya sampai bisa,” kenang Meizatety.

Suaranya parau di ujung telepon saat mengisahkan pesan terakhir Iskandar yang menyayat hati sekaligus membangkitkan semangat di dada. Jika dirinya tiada, Meizatety sebagai anaknya harus mengajarkan incung kepada semua orang.

“Jangan menolak dan jangan meminta bayaran. Siapa pun orang yang mau belajar, kalian terima dengan ikhlas,” kata Meizatety lirih.

Pesan itu membekas pada ingatan Meizatety. Dia sekuat tenaga menghidupkan Sanggar Ilok Rupo, tempat ayahnya melatih anak-anak muda tentang incung dan tradisi Kerinci, dengan dana sendiri.

Sampai sekarang sudah puluhan orang yang belajar incung dengan Meizatety. Menurutnya, tidak rumit belajar incung apabila bersungguh-sungguh dan ulet, maka satu jam sudah bisa menulis incung.

Selayaknya aksara lain, belajar incung membutuhkan keuletan, dengan rajin menulis secara berulang-ulang, akan terbiasa dengan bentuk huruf dan tanda bacanya.

Tidak hanya mengajar baca-tulis, Meizatety membuat batik dengan huruf-huruf incung. Begitu juga anaknya, cucu Iskandar, Junifar Rizky Mahesa terus berselancar menekuni dunia digital, untuk membuat aplikasi khusus aksara incung.

Gairah mewariskan incung ke generasi muda juga tumbuh dari murid Iskandar, yakni Deki Syaputra dan Meka.

Meka membuka Sekolah Incung dengan dana swadaya selama tiga tahun terakhir. Sekolah incung telah melahirkan sedikitnya 400 anak yang mampu membaca dan menulis incung.
“Pak Iskandar itu guru incung saya dan dia bukan asli Kerinci. Tetapi hati dan jiwanya untuk incung. Karena beliau saya terinspirasi mendirikan Sekolah Incung,” kata Meka penuh semangat.

Sementara itu, Deky Syaputra membuka kelas di rumahnya untuk anak-anak di Kota Jambi belajar incung. Dia juga mengajar incung di televisi dan menyusun materi muatan lokal incung untuk SD dan SMP, berpedoman dari buku Iskandar Zakaria.

“Belajar incung dari Pak Iskandar. Orangnya sangat sabar dan suka belajar hal-hal baru. Dia salah satu tokoh di Kerinci,” kata pria berusia 30 tahun yang juga dosen di Universitas Batanghari.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com