Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Asal-usul Kota Solo, dari Geger Pecinan hingga Perjanjian Giyanti

Kompas.com - 21/02/2021, 07:00 WIB
Setyo Puji

Editor

KOMPAS.com - Hari jadi Kota Solo baru saja diperingati pada 17 Februari 2021 lalu.

Pada peringatan hari jadi ke-276 itu diketahui tidak ada acara spesial yang digelar Pemerintah Kota Solo karena masih dalam kondisi pandemi Covid-19.

Lantas, apa yang perlu diketahui masyarakat dalam peringatan hari jadi tersebut?

Berdasarkan sejarahnya, Kota Solo berasal dari nama sebuah desa Sala yang berada di tepian sungai atau bengawan.

Dikutip dari laman resmi Pemerintah Surakarta, Solo atau Sala ternyata dikenal sebagai desa terpencil yang banyak ditumbuhi pohon sala. Adapun letaknya berada tak jauh dari timur Kartasura, pusat pemerintahan Kerajaan Mataram pada saat itu.

Baca juga: Mengenal Kopi Wonogiri, Potensi dan Sejarahnya

Geger pecinan

Berpindahnya pusat pemerintahan Mataram dari Keraton Kartasura ke Sala pada saat itu diketahui karena adanya pemberontakan etnis China atau yang dikenal dengan sebutan "Geger Pecinan" yang dipimpin Sunan Kuning.

Adapun salah satu pemicu terjadinya pemberontakan tersebut karena adanya hubungan mesra yang dilakukan antara Keraton Kartasura dengan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).

Akibat pemberontakan itu, pihak Keraton Kartasura yang dipimpin Paku Buwono II terpaksa harus mengungsi ke Ponorogo.

Pemberontakan tersebut baru berakhir setelah VOC, Pangeran Cakraningrat dari Madura dan Raden Mas Sahid bersatu untuk memulihkan keadaan.

Dilansir dari Babad Sala yang ditulis RM Sajid, akibat pemberontakan tersebut menyebabkan seluruh bangunan keraton di Kartasura rusak berat.

Baca juga: Solo, Legenda dan Budaya Jawa

Karena kondisi itu, Paku Buwono II dan para kerabat keraton berunding mencari lokasi baru untuk dijadikan lokasi pusat pemerintahan Mataram.

Saat itu, ada tiga opsi yang ditawarkan untuk pilihan lokasi, yaitu di Desa Kadipolo (sekarang Taman Sriwedari), Desa Sala (sekarang Keraton Surakarta) dan Desa Sasewu (sebelah barat Kecamatan Bekonang).

Namun demikian, akhirnya Desa Sala yang dipilih sebagai lokasi pusat pemerintah baru. Alasannya, lokasi tersebut dianggap strategis karena dekat dengan sungai (Bengawan Solo) yang merupakan pusat transportasi perdagangan saat itu.

Menurut Sejarawan Kota Solo, Heri Priyatmoko, warga yang menetap sebelumnya di desa tersebut diberikan ganti untung oleh Sunan Paku Buwono II.

Hal itu dilakukan sang raja karena berusaha menjaga wibawa kerajaan dan menghormati penduduk asli yang telah menetap sebelumnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com