Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Duplikasi Data Orang Meninggal untuk Dapat Bansos Covid-19, Perangkat Desa Jadi Tersangka, Ini Ceritanya

Kompas.com - 19/02/2021, 08:50 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - LH (32), seorang Kasi Pelayanan Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, diamankan polisi karena terlibat kasus penyelewengan dana bantuan sosial tunai (BST) Kementerian Sosial sebesar Rp 54 juta.

Modusnya adalah LH menduplikasi data nama dari Nomor Induk Kependudukan (NIK) calon penerima bansos yang sudah meninggal dunia dan pindah alamat.

Total ada 30 data orang yang diduplikasi oleh LH dari total 855 warga penerima BST di Desa Desa Cipinang.

Perangkat desa ini tak bekerja sendiri. Ia melibatkan 15 orang joko dari kampung tetangga. Belasan orang tersebut mencairkan dana BST di kantor pos pada Senin, 20 Juli 2020.

Baca juga: Penyelewengan Bansos Covid-19 di Kabupaten Bogor, Modus Duplikasi Data Orang yang Meninggal

Dapat Rp 1,8 juta per orang per tiga bulan

Ilustrasi Bantuan Presiden (Banpres) Produktif (Dok. Shutterstock) Ilustrasi Bantuan Presiden (Banpres) Produktif (Dok. Shutterstock)
Kapolres Bogor AKBP Harun mengatakan bahwa bansos  yang diselewengkan adalah untuk penanganan Covid-19 yang bersumber dari Kemensos sebesar Rp 600.000.

BST tersebut diberikan dalam kurun waktu tiga bulan, yakni April, Mei, dan Juni 2020.

Saat pencairan di Kantor Pos Cicangkal, Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin, satu orang mendapatkan Rp 1,8 juta.

"Jadi ada 30 nama yang bermasalah (digandakan), di antaranya tujuh nama seperti Aman Bin Arsa diganti Saman Bin Arsa, alamatnya sama namun bedanya di NIK, kita sebut sebagai orang yang ganda."

"Kemudian ada dua orang meninggal dunia dalam 30 nama tersebut. Selanjutnya dua orang yang sudah dapat bantuan PKH dan lainnya ada 19 orang pindah alamat," ungkap Harun.

Baca juga: Aparat Desa Ditangkap karena Menilap Dana Bansos Rp 54 Juta

Joki dapat upah Rp 250.000

Ilustrasi dana bantuan langsung tunai (Dok Shutterstock) Ilustrasi dana bantuan langsung tunai
Kapolres Bogor mengatakan, masing-masing joki bertugas untuk mewakili dua orang dengan dua kali pengambilan. Padahal, seharusnya warga yang mengambil bantuan sesuai dengan data dari Kemensos.

Setelah mencairkan dana BST, satu joki mendapatkan upah Rp 250.000.

"NIKnya itu asli, terdaftar, tapi (pengambilannya) atas nama orang lain. Kan pada saat (pencairan) di kantor pos mereka hanya menunjukkan surat undangan saja, lalu di-scan barcode gitu. Jadi enggak perlu lagi KTP karena kan mereka percaya itu sudah diurus orang desa," ucapnya.

"Nah, kantor pos ini percaya saja orang yang menerima bansos sudah sesuai, sudah terverifikasi oleh kasi pelayanan desa ini, maka akhirnya langsung dicairkan," imbuh dia.

Baca juga: Pesan Jokowi, Masyarakat Jangan Gunakan Dana Bansos Covid-19 untuk Beli Rokok

Dana Rp 54 juta dibawa oleh Sekdes

Ilustrasi korupsi KOMPAS.com/NURWAHIDAH Ilustrasi korupsi
Harun mengatakan saat ditangkap, LH mengaku uang Rp 54 juta disetorkan pada sekretarus desa (Sekdes) Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin.

Harun juga memastikan saat ini uang tersebut masih di tangan sekdes yang saat ini dalam pengejaran.

"Jadi selebihnya uang digunakan oleh tersangka. Kasi pelayanan di Desa Cipinang ini meraup total uang Rp 54 juta dari setiap penerima bansos sebesar Rp 1,8 juta yang direkap pencairannya itu," kata dia.

Baca juga: Ketua KPK Tegaskan Tak Pandang Bulu Usut Suap Bansos Covid-19

"Uang (Rp 54 juta) itu enggak sempat dibelikan dalam bentuk barang mewah, tapi dia serahin ke sekdes dan sampai saat ini sekdes itu DPO, masih dalam pengejaran kita," imbuh dia.

Dari tangan LH, polisi mengamankan barang bukti berupa 1 lembar kuitansi, 1 unit ponsel dan 27 lembar surat undangan penerima bantuan sosial tunai.

Tersangka dikenai Pasal 43 ayat (1) UU RI Nomor 13 Tahun 2011 tentang penanganan fakir miskin, di mana setiap orang yang menyalahgunakan dana penanganan fakir miskin, dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.

Baca juga: Kata KPK Soal Nama Kader PDI-P Ihsan Yunus yang Muncul Saat Rekonstruksi Kasus Suap Bansos Covid-19

Tidak tepat sasaran dan data bermasalah

Ilustrasi KTPShutterstock Ilustrasi KTP
Sementara itu, Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Kabupaten Bogor mengatakan sejak awal pendataan calon penerima bansos sangat bermasalah.

Hal tersebut menjadi celah oknum di kantor desa untuk menyalahgunakan wewenang kekuasaan dalam pendataan hingga pencairan bansos.

Di sisi lain, mereka juga kerap menjadi bulan-bulanan warga yang selama ini membutuhkan bantuan tersebut.

Baca juga: Oknum Pendamping PKH di Cianjur Korupsi Dana Bansos hingga Ratusan Juta Rupiah

"Salah satu peluang untuk korupsi inikan karena pendataan bansos sudah buruk sejak awal ada pandemi," kata Bagian Bidang Pelatihan dan Pendidikan Apdesi Kabupaten Bogor, Lukmanul Hakim saat dihubungi Kompas.com, Selasa (16/2/2021).

Karena itu, ia meminta pendataan dan penyaluran bansos harus segera diperbaiki sebelum didistribusikan.

Menurutnya, kasus yang menjerat perangkat desa di Kabupaten Bogor harus dilihat secara integral dan tidak hanya pada satu sisi, Lukmanul Hakim mengatakan masalah itu berurutan dari sejak awal pendataan yang tidak tepat sasaran.

Baca juga: Begini Modus Oknum Pendamping PKH di Cianjur Gelapkan Dana Bansos

"Sejak awal kami sudah menyalahkan terkait pendataan bansos Kemensos. Di situ kan datanya pakai yang lama, ada yang meninggal masih dipakai, kemudian ada yang ekonominya meningkat tapi masih dapat pemberian bansos, dan itu tidak boleh diganti gitu, kan aneh," ungkapnya.

"Itu yang jadi catatan kami sejak awal. Mestinyakan data bansos tidak statis tapi harus dinamis, data bansos itu harus update terus sehingga tidak ada lagi peluang-peluang tadi," imbuh dia.

SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Afdhalul Ikhsan | Editor : Farid Assifa)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com