Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Monumen Pers Nasional, Tersimpan Jejak Dunia Pewartaan Indonesia

Kompas.com - 14/02/2021, 11:00 WIB
Reza Kurnia Darmawan

Editor

KOMPAS.com - Berjarak sekitar 3 kilometer dari Balai Kota Solo, terdapat bangunan yang menjadi saksi perkembangan dunia pers Indonesia.

Terletak di Jl. Gajah Mada, Kelurahan Timuran, Kecamatan Banjarsari, gedung itu bernama Monumen Pers Nasional.

Sebelum dikenal dengan nama sekarang, tempat itu dulunya bernama Societeit Sasana Soeka, yang difungsikan sebagai balai pertemuan.

Gedung tersebut telah melewati berbagai zaman.

Baca juga: Terungkap, Jagal Kucing di Medan Ternyata Punya Usaha Katering

 

Dibangun pada 1918 atas perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunagara VII, telah banyak peristiwa yang terjadi di sana.

Contohnya pada 1933. Saat itu, Raden Mas Ir. Sarsito Mangunkusumo dan sejumlah insinyur mengadakan pertemuan di gedung itu.

Dari situ terciptalah stasiun radio baru bernama Solosche Radio Vereeniging (SRV), yang merupakan radio pertama milik kaum pribumi.

Tempat ini juga menjadi saksi digelarnya Konferensi Wartawan Pejuang Kemerdekaan Indonesia pada 9 Februari 1946.

Baca juga: Akhyar Nasution Jadi Wali Kota Medan Tak Sampai Seminggu, Gubernur Sumut: Sejarah akan Mencatat…

Dari acara itu, di tanggal yang sama, lahirlah organisasi profesi kewartawanan yang diwadahi dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Mr. Soemanang adalah ketua pertamanya.

Pada peringatan satu dasawarsa PWI, 9 Februari 1956, muncul suatu gagasan untuk mendirikan Yayasan Museum Pers Indonesia.

Ide tersebut dicetuskan oleh tokoh-tokoh pers, seperti Rosihan Anwar, B.M. Diah, dan Soeraedi Tahsin.

Yayasan tersebut akhirnya terwujud pada 22 Mei 1956. Waktu itu, buku dan majalah milik Soedarjo Tjokrosisworo dijadikan koleksi awal.

Baca juga: Gibran Bakal Jalankan Sejumlah Program Ini Saat Menjadi Wali Kota Solo

 

Sebelum menjadi namanya yang sekarang, pada 1970 sewaktu kongres di Palembang, sempat tercetus ide untuk mendirikan Museum Pers Nasional.

Hal tersebut disambut oleh Menteri Penerangan Budiarjo.

Dalam peringatan seperempat abad PWI, 9 Februari 1971, Budiarjo menyatakan pendirian Museum Pers Nasional di Surakarta.

Baca juga: Tinggi Semburan Gas di Pekanbaru Mencapai 10 Meter, Mengandung Lumpur dan Batu

Dua tahun kemudian, 1973, ketika kongres di Tretes, Persatuan Wartawan Indonesia cabang Surakarta memberikan usulan untuk mengubah Museum Pers Nasional menjadi Monumen Pers Nasional.

Untuk merealisasikan Monumen Pers Nasional, pada 1977 tanah dan gedung Societeit diserahkan kepada Panitia Pembangunan Monumen Pers Nasional di bawah Departemen Penerangan RI.

Museum ini diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 9 Februari 1978.

Koleksi Monumen Pers Nasional

Museum ini memiliki koleksi-koleksi bersejarah terkait pers di Indonesia. Koran dan majalah lawas juga bisa disimak pengunjung.

Salah satu koleksi Monumen Pers Nasional adalah kamera dan perlengkapan milik Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin, wartawan Harian Bernas Yogyakarta, yang dibunuh karena beritanya.

Terdapat juga pemancar yang digunakan pada siaran langsung terjauh dari Solo menuju Den Haag, Belanda, pada 1936.

Baca juga: Dua Debt Collector Saling Ejek di WA Grup, Akhirnya Adu Jotos, 1 Orang Tewas

Pemancar ini dikenal dengan sebutan Radio Kambing karena pernah disembunyikan pejuang Radio Repbulik Indonesia dan tentara nasional di kandang kambing Desa Balong, lereng Gunung Lawu saat Agresi Militer Belanda II pada 1948.

Pengunjung juga bisa beranjak ke masa lalu dengan mambaca koran atau majalah kuno di Monumen Pers Nasional.

Salah satunya adalah Slompret Melayu. Koran berbahasa Melayu ini terbit 5 Juni 1988 pada masa Hindia Belanda.

Di dalamnya berisi berita-berita dari berbagai daerah.

Baca juga: “Sebagian Kecil Wargamu yang Ambyar” Kirim Karangan Bunga ke Bupati Banyumas

 

“Harga beras di kota Ambon mencapai 7-8 gulden dan jagung 2-3 gulden setiap satu pikulnya. Sementara dari Bali dan Lombok dikabarkan terjadi lindu atau gempa bumi sampai sepuluh kali sehari pada tanggal 29 Mei, namun tidak terlalu besar dan tidak menyebabkan gunung Batur bergolak,” tulis website resmi Monumen Pers Nasional.

Koleksi lainnya adalah majalah Djawa Tengah Review terbitan Juli 1929. Dalam penulisannya, majalah ini memakai bahasa Melayu China.

Isinya bervariasi dan banyak menampilkan foto pada masa itu.

Baca juga: Dianggap Dukun Santet, Seorang Lansia Tewas Dibacok, Rumahnya Dibakar

Mulai dari foto pintu gerbang pasar malam beraksitektur China, foto Candi Gedong Songo.

Terdapat juga foto-foto dari luar negeri, misalnya potret demonstrasi laki-laki dan perempuan di Ueno Park, Jepang, yang menuntut pemerintahan bersih.

Monumen Pers Nasional juga memiliki perpustakaan dan ruang baca media cetak/digital.

Di ruang baca tersebut, pengunjung bisa membaca surat kabar atau majalah dari seluruh Indonesia secara gratis.

“Di ruang baca ini pula, pengunjung dapat membaca koran/majalah kuno yang sudah didigitalisasi lewat komputer berlayar sentuh,” terang Monumen Pers Nasional di website-nya.

Baca juga: Listrik Belum Mengalir di Intan Jaya Papua, Masyarakat Siapkan Genset secara Swadaya

Sumber: mpn.kominfo.go.id; pariwisatasolo.go.id

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com