Nilai itu diakumulasi dari barang-barang adat, seperti mandau besi batu, antang, gong, manik, piring tapak kuda, beras, babi, ayam, dan barang lainnya untuk keperluan upacara Mekean Tenoaq atau pemulihan tanah.
“Upacara ini dimaksud untuk memulihkan fungsi spiritual lingkungan dan memperbaiki hubungan antar-masyarakat dengan roh pelindung semesta,” jelas dia.
Kriminalisasi tokoh adat
Setelah aksi penutupan akses itu berlangsung beberapa hari, sejumlah aparat polisi mendatangi masyarakat adat Dayak Modang Long Wai di Desa Long Bentuk, lokasi aksi damai KM 16, pada Jumat, (5/2/2021) sekitar pukul 21.00 Wita.
Rombongan polisi itu mengantar surat panggilan Polres Kutai Timur kepada tiga tokoh masyarakat adat Dayak Modang Long Wai atas kasus penutupan akses jalan tersebut.
Ketiga tokoh yang dipanggil, Daud Lewing selaku Kepala Adat, Benediktus Beng Lui selaku Sekretaris Adat dan Elisason selaku tokoh masyarakat.
“Ketiga tokoh ini diminta mendatangi Polres Kutim, Senin (8/2/2021) sebagai saksi atas laporan pemortalan jalan,” ungkapnya.
Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) 30 Kaltim, Buyung Marajo yang turut mendampingi masyarakat adat Dayak menilai surat panggilan tersebut sebagai upaya kriminalisasi tokoh-tokoh masyarakat yang berjuang membela hak-hak masyarakat adat Dayak Modang.
"Hentikan kriminalisasi masyarakat yang berjuang atas tanah dan ruang hidupnya," tegas Buyung.
Awal mula perusahaan masuk
Eksploitasi sumber daya alam Kecamatan Busang bermula sejak tahun 1999. Kala itu sebuah perusahaan kayu, hak penguasaan hutan (HPH) beroperasi di wilayah itu.
Seiring waktu berjalan, mulai muncul perusahaan sawit.
Pada 2016, Bupati Kutai Timur menerbitkan izin perusahaan perkebunan kelapa sawit PT SA dengan luas konsesi 14.350 hektar.
Berlanjut pada tahun-tahun berikutnya jumlah perusahaan makin banyak masuk ke wilayah itu.
Hingga 2010, kasus perusahaan dan masyarakat adat muncul.