Awalnya museum ini diwadahi proyek pembinaan permuseuman yang dikelola bidang Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan di lingkungan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tenggara.
Pada 1991 museum ini resmi menjadi Museum Provinsi Sulawesi Tenggara yang merupakan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Kebudayaan dengan SK Mendikbud.
Baca juga: Foto Viral Pencurian di Museum Sulawesi Tenggara, Keris dan Pedang Peninggalan Jepang Hilang
Seiring dengan berlakunya UU Otonomi Daerah, maka museum dilimpahkan ke pemerintah daerah, selanjutnya berdasarkan SK Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara menjadi Unit Pengelola Teknis Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tenggara.
Pada 2009, sempat berpindah menjadi Unit Pengelola Teknis Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Tenggara, namun diubah dua tahun kemudian menjadi Unit Pengelola Teknis Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tenggara.
Di mata Dodhy dan Agung Kurniawan, saat dikelola langsung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, itu merupakan periode ideal.
Baca juga: Tutup karena Pandemi, Museum Ini Tak Sadar Lukisan Berusia 500 Tahun Dicuri
Agung mengklaim ketika museum masih dikelola oleh Jakarta, perkembangan "sangat signifikan" karena diperhatikan. "Dulu masih ada CCTV dan aparat keamanannya."
Tapi ketika dikelola pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara sekitar 2002, saat CCTVnya rusak, "tidak diganti lagi", katanya.
"Ketika otonomi daerah, tidak ada pembangunan fisik yang dilakukan di museum melalui APBD. Jadi saya rasa cukup dimaklumi dan dipahami," kali ini kata Dodhy, Kepala Museum dan Taman Budaya Sulawesi Tenggara.
Baca juga: Mengenal Sosok Robin Hood Indonesia yang Jarah Museum Nasional
"Artinya, kalau itu dianggap sebagai benda cagar budaya, tentu harus ada tingkat pengamanan yang tinggi," kata Li Niampe kepada wartawan di Kendari, Jumat (5/2/2021).
"Misalnya harus dipasang CCTV... Kemudian ada satpam yang benar-benar menjaga satu kali 24 jam," paparnya.
Kenyataannya, semua koleksi milik Museum Sulawesi Tenggara itu belum terdaftar sebagai benda cagar budaya.
Baca juga: Museum Tsunami Aceh Buka Lagi, Dibatasi 100 Orang
Karena itulah, dia menyebut apa yang dipamerkan di museum tersebut lebih "sebagai barang pajangan saja" dan museumnya mirip "kantor biasa".
Menurutnya, selama belum mendapatkan status benda cagar budaya, maka benda-benda di museum itu sebagai "hasil pengumpulan dari masyarakat semata".
Hal ini bisa terjadi, karena di Sulawesi Tenggara, belum ada tim ahli cagar budaya yang bisa merekomendasikan sebuah benda cagar budaya untuk diberi status, kata La Niampe.
"Maka inilah yang terjadi museum ini dianggap sebagai kantor biasa saja," jelasnya. Setelah jam kantor berakhir, museum itu ditinggal begitu saja "tanpa CCTV dan pengamanan yang ketat".
Baca juga: Wisata ke Museum Lawang Sewu, Kini Pengunjung Bisa Bayar Cashless
"Dengan kehilangan ini, menjadi pelajaran besar bagi pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara supaya setiap cagar budaya itu segera diadakan penetapan," ujarnya.
Apabila sudah ditetapkan status gacar budaya itu, La Niampe meyakini benda-benda koleksi di museum itu tidak akan hilang. "Karena itu akan terumumkan, akan terpublis dengan sendirinya," tambahnya.
Baca juga: Pemprov DKI Tutup Tempat Wisata dan Museum pada Libur Natal dan Tahun Baru, Ini Daftarnya
Dihadapkan kenyataan bahwa koleksi museum itu belum ada yang ditetapkan statusnya, La Niampe mengatakan tidak menutup kemungkinan ratusan benda yang hilang itu sebagian dijual ke kolektor di luar negeri.
"Bisa saja terjadi penjualan di luar negeri, karena belum punya status, hanya memiliki nomor registrasi di provinsi," tegasnya.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Museum dan Taman Budaya Sulawesi Tenggara, Dodhy Syahrulsah, mengaku semua benda-benda koleksi di museum "belum ada kajiannya."
Baca juga: Hari Ibu, Yuk Main ke Museum Bale Indung Rahayu Purwakarta, Ada Apa?