Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Tan Deseng, Warga Tionghoa yang Pertama Kali Rekam Dalang Legenda Abah Sunarya

Kompas.com - 08/02/2021, 13:33 WIB
Farid Assifa

Editor

KOMPAS.com - Anggota DPR RI Dedi Mulyadi menemui seorang budayawan Sunda keturunan Tionghoa, Tan Deseng, di kediaman Tan Deseng, Kota Bandung, Minggu (7/2/2021).

Dedi menemui Tan Deseng atas permintaan Deseng karena sudah lama ingin bertemu. Selain itu, Deseng juga meminta kepada Dedi untuk mendokumentasikan aset-aset penting budaya Sunda.

"Pak Deseng, keturunan Tionghoa. Dia itu secara ideologis sangat memahami ajaran Siliwangi," ujar Dedi kepada Kompas.com, Senin (8/2/2021).

Dedi menceritakan pengalamannya yang menarik ketika bertemu dengan pria yang akrab disapa Pak Deseng itu. Menurut Dedi, ketika ia bercerita tentang Siliwangi, emosinya keluar dan matanya berbinar.

"Saya ini berutang budi pada Sunda karena saya dilahirkan di sini, dibesarkan di sini. Oleh karena itu, saya harus merawat dan menjaga seluruh peradaban Sunda," kata Deseng sebagaimana ditirukan Dedi Mulyadi.

Baca juga: Ribuan Warga Melayat ke Rumah Dalang Asep Sunandar Sunarya

Dedi mengatakan, Pak Deseng adalah orang yang pertama kali merekam pagelaran dalang "the legend", Abah Sunarya (ayahanda Asep Sunandar Sunarya) dalam rekaman pitam hitam. Hal itu ia lakukan bukan untuk bisnis.

Pak Deseng juga merekam seniman Sunda lainnya yang terkenal seperti Upit Sarimana, Titin Fatimah, Utik Ucit dan lainnya.

"Dia punya alat rekaman studio pemberian dari Titin Fatimah pada tahun 1970-an. Waktu itu harganya Rp 70 juta," kata Dedi yang juga merupakan budayawan Sunda.

Saat ini, kata Dedi, Pak Deseng memintanya untuk mentransfer isi seluruh kaset kegiatan seniman Sunda dari bentuk pita dan piringan hitam ke format digital.

"Saya udah sanggupi. Sedang disusun rencana biayanya," kata Dedi.

Transfer pita hitam

Dedi mengatakan, Pak Deseng meminta transfer isi kaset ke digital karena khawatir ketika dia meninggal, aset budaya itu hanya akan menjadi barang rongsokan dan orang tidak mengerti bahwa benda itu mengandung nilai budaya tinggi.

Pak Deseng, kata Dedi, meyakini bahwa yang istilah musik dalam bahasa asli Sunda itu adalah karawitan. Sedangkan istilah musik diserap dari Bahasa Inggris dan awalnya berasal dari budaya Yunani, Dewa Moses, yaitu dewa yang suka bermain musik biola.

"Karawitan diatur dalam laras pelogan salendro, ada dimulai dari kacapi yang hidup ribuan tahun lalu. Tata nilai suara kacapi itu oleh dia dimainkan dalam gitar. Dia luar biasa," katanya.

Dedi mengaku Pak Deseng sempat bertanya kepadanya terkait kacapai. Katanya, kenapa kacapi bisa dimainkan dalam gitar, padahal ada pada abad berbeda.

"Saya jawab bahwa tata suara itu akan lahir dari manusia yang punya rasa. Rasa itu digerakkan sang Pemilik Semesta. Sumber dari seluruh nilai seni itu, baik kacapi maupun gitar, itu sama berasal dari energinya milik alam semesta," jawab Dedi kala itu.

"Good. Benar. Itulah agama rasa, agama universal," kata Deseng sebagaimana disampaikan Dedi.

Baca juga: Terinspirasi, Pria Ini Lukis Dedi Mulyadi, Ahok, Risma dan Ganjar di Pantat Truk

Dedi mengataka, Pak Deseng kabarnya sudah lama ingin bertemu dengan dirinya. Akhirnya, melalui kontak seorang seniman Dadan Suryalaga, Dedi pun akhirnya bisa menemui Pak Deseng di Kota Bandung.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com