Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Juyono, 50 Tahun Jadi Pandai Besi, Ikuti Jejak Ayah, Menempa Parang hingga Wajan

Kompas.com - 06/02/2021, 06:07 WIB
Rachmawati

Editor

Suparto, petani palawija dari Gunungpati, Semarang, salah satu pelanggan Juyono sejak 1979.

Dia mengakui kualitas perkakas buatan Juyono, meski menurutnya harga perkakas produksi K N III lebih mahal dibanding sabit pabrikan.

"Aku pelanggan dia masih sama-sama bujang, dia sama bapaknya dulu. Garapannya bagus, jadi langganannya banyak. Aku nggak pernah beli di pasar, karena beli di pasar itu tajamnya kurang," tutur Suparto.

Baca juga: Cerita Sejarawan UGM yang Ikut Verifikasi Keris Pangeran Diponegoro di Belanda

Keahlian diturunkan ke anak

Di kampung tempat tinggal Juyono, ada empat pandai besi. Namun, di antara mereka, Juyono paling senior.

Pekerjaan turun temurun itu juga diikuti kedua anaknya. Narto Susilo dan Agus Sunarso, yang menjadi pandai besi di daerah lain.

"Sudah menyatu, satu keluarga pandai besi, nggak ada lainya. Adik saya yang kecil juga jadi pande, tapi semua punya ciri sendiri, beda gayanya. Pesannya pada mereka jangan ceroboh karena nanti hasilnya jelek konsumen tidak tertarik."

Baca juga: Dikembalikan Belanda, Keris Pangeran Diponegoro Akan Disimpan di Museum

Di usia senjanya, Juyono memilih bekerja sendiri.

Dia pun tidak seproduktif dulu karena tenaga makin berkurang dan gangguan kesehatan mulai menghinggapi tubuh rentanya yang tak lagi berotot.

"Sekarang tenaga sudah kendur, sudah loyo, tenaganya sudah habis, pokoknya kerja sekuatnya. Kalau sakit nggak bisa kerja."

Baca juga: Hampir 2 Abad Ada di Belanda, Raja Willem Kembalikan Keris Pangeran Diponegoro ke Jokowi

Meski begitu, Juyono masih kukuh melakoni profesinya dan tak ingin ingin berhenti selagi mampu.

"Ini mata pencaharian utama, hidup saya. Jadi masih kerja sampai sekarang. Saya punya keinginan yang belum tercapai."

"Ingin punya alat tempa yang lebih modern jadi nanti mukul pakai mesin tidak harus mengeluarkan tenaga untuk menempa besi," harapnya mengakhiri percakapan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com