Hal itu penting agar pelanggan puas sehingga bisa datang lagi. Sebaliknya, jika kualitas produk buruk, pembeli tidak akan kembali.
"Kalau tidak bagus tidak ada yang datang, yang beli kapok. Makanya ayah selalu berpesan yang penting bagus agar dicari orang. Barang yang bagus kan dicari orang, yang paling bagus jangan sampai kalah dengan bikinan orang lain. Kalau tidak bagus nanti orang yang beli kapok," imbuhnya.
Baca juga: Mengintip Penjamasan Keris Peninggalan Sunan Kudus di Masa Pandemi
Juyono mampu memperkirakan dan mengukur tingkat panas api tanpa menggunakan alat pengukur suhu.
"Panasnya perkiraan jangan sampai kemerahan dan kehitaman. Pas merah sama seperti bulan tanggal satu. Dicelup, semua pakai rasa. Itu untuk melenturkan besi agar mudah dibentuk. Kalau tidak seperti itu tidak jadi. Besinya lebur di api, hancur ya rugi," papar Juyono.
Tak ada alat cetak untuk meleburkan dan mencetak besi menjadi aneka perkakas, dari parang hingga wajan.
"Nggak pakai cetakan, dikarang saja, dikira-kira terus dibentuk. Kalau dicetak kan kayak bubur. Ini besi mentah, dipanaskan dan dibentuk sejadinya. Kalau masih tebal kikir lagi, digosok. Kalau mencong-mencong ya ditempa terus."
Baca juga: Trending di Twitter, Berikut Sejarah Keris
Juyono mencari sendiri berbagai bahan baku yang digunakan.
Mulai dari besi-besi bekas kendaraan berat hingga arang kayu jati. Menurutnya, bahan itu mampu menghasilkan proses pembakaran maksimal dan hasil produk berkualitas bagus.
"Cari dari penampung rongsok. Cari sampai dapat, makanya sampai ke mana-mana. Sekarang lebih mudah dibandingkan zaman dulu masih dikit," kata Juyono.
Juyono mengatakan komponen besi kini menurun kualitasnya tapi harga terus naik.
Dari Rp 3.500 per kilogram kini mencapai Rp 7.500 per kilogramnya.
Baca juga: Belanda Serahkan Tombak dan Keris Pusaka Jaman Perang Puputan Klungkung
"Zaman dulu beda, sekarang banyak tiruan. Dulu mengkilat, sekarang putih tapi buram karena komponen bajanya kurang banyak."
Awalnya, Juyono menjual perkakas buatannya dengan keliling menggunakan sepeda onthel. Seiring waktu, dia menggelar dagangan di Pasar Kliwon Gunungpati dengan merek KN III.
"Tahun 2000 itu masih jual sabit di pasar, nggak sampai 15 menit saja bawa 30-an [perkakas] sudah habis. Orang sudah nunggu untuk bayar. Banyak saingan tapi pamor kelihatan, ada stempel KN III. Kalau dengar KN III itu datang ngerubungi semua," jelasnya.
Baca juga: Keris yang Dikembalikan Belanda Dipastikan Asli Milik Pangeran Diponegoro
Dulu dia menjual sabit seharga Rp 25.000, kini harga sabit buatannya berkisar antara Rp 75.000 hingga Rp 125.000.