KOMPAS.com - Masyarakat Desa Ciherang, desa Cijangkar, Kecamatan Nyalindung, Sukabumi, Jawa Barat dihantui ancaman bencana tanah bergerak sejak Minggu (13/1/2021).
Ketakutan warga beralasan karena sejumlah retakan di temukan di bangunan dan tanah di pemukiman serta persawahan sejak akhir Desember 2020.
Selain itu lahan persawahan yang tak jauh dari pemukiman juga diketahui ambles pada Jumat (2/1/2021) sore.
Hingga Selasa (26/1/2021) dari data Pemdes Cijangkar, ada 16 unit rumah yang rusak. Empat rumah di antaranya sudah dibongkar.
Belasan rumah tersebut dihuni 18 kepala keluarga yang berjumlah 42 jiwa.Sedangkan 103 rumah yang dihuni 116 kepala keluarga yang terdiri dari 366 jiwa.
Baca juga: Seiring Bunyi Dentuman, Bebatuan Penutup Rekahan di Lokasi Bencana Tanah Bergerak Sukabumi Lenyap
Terlihat kabut menyelimuti pemukiman di atas ketinggian 930 mdpl sehingga udara dingin dirasa warga hingga menusuk tulang.
Sementara itu sejumlah pengungsi tetao bertahan di tempat pengungsian di bangunan SD Negeri 1 Ciharang.
Padahal biasanya mereka boleh pulang ke rumah saat matahari terbit. Namun karena hujan, mereka tetap bertahan di pengungsian sejak Selasa malam.
Baca juga: Warga di Lokasi Tanah Bergerak Sukabumi Kembali Dengar Bunyi Dentuman
Bangunan SD tersebut berjarak sekita 100 meter dari pemukiman warga yang rusak akibat bencana tanah bergerak.
Salah satu warga yang bertahan di pengungsian adalah Lela (50).
Ia bercerita rumahnya berada lebih rendah dari pemukiman yang terdampak tanah bergerak. Rumah tersebut dibangun dari program pembangunan rumah tidak layak huni sekitar 2 tahun lalu.
"Jadi kalau hujan semakin khawatir. Apalagi dulu, tahun 2001 pernah ada longsor juga dekat ke rumah," tutur Lela di sela membersihkan ruang pengungsian.
Baca juga: Fakta di Balik Suara Dentuman di Lokasi Bencana Tanah Bergerak di Sukabumi
Hal yang sama juga sampaikan Lia (35). Ia memilih bertahan di tempat pengungsian, karena memiliki bayi yang baru berusia 2 bulan.
"Kalau enggak hujan sih pulang ke rumah, kalau hujan begini pilih di sini saja bertahan," kata Lia.
Warga lainnya, Arme (69) juga memilih bertahan. Sambil berbaring dan berselimut alas tempat tidur di atas lantai karena sakit.
"Ibu saya sakit kepala sudah beberapa hari ini, tekanan darahnya naik," kata Minar (40) anak Arne yang tinggal di wilayah Kota Sukabumi.
Awalnya, Minar akan menjemput Ibunya untuk dibawa ke rumahnya di Baros. Namun, karena kondisinya sakit, penjemputan dibatalkan.
"Ibu juga enggak mau. Makanya bertahan di sini saja dulu," ujar Minar.
Baca juga: BPBD Tetapkan Siaga Darurat Bencana Tanah Bergerak di Kaki Gunung Baros Sukabumi
Ia melakukan hal tersebut sambil menunggu kepastian apakah rumahnya bisa ditempati atau tidak.
Menurutnya masyarakat di lokasi bencana tanah bergerak di Dusun Ciherang sangat mengharapkan pengkajian permukiman segera dilaksanakan.
Hal ini terkait keberlangsungan kehidupan warga di dusun terletak pada ketinggian 930 meter dari permukaan laut (m dpl).
"Saya masih menunggu dari pihak pemerintah untuk memberikan kejelasan ke depannya. Apakah masih bisa ditempati atau tidak," kata Wahyu.
Sementara itu Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Sukabumi, Anita Mulyani mengatakan kajian terkait tanah bergerak itu perlu waktu. Karena tim ahli pada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) - Badan Geologi sangat terbatas.
"BPBD akan melakukan kajian bersama Badan Geologi terkait status tanah ini, apakah masih layak dihuni apa tidak," kata Dia.
"Ahli dalam penanganan ini (tanah bergerak) se Indonesia hanya ada 12 orang," ujar dia.
Baca juga: Melihat Kondisi Pengungsi Tanah Bergerak di Kaki Gunung Beser Sukabumi
"Dan menang kami sedang menunggu giliran. Tetapi bila harus segera dilakukan akan bekerjasama dengan instasi lain dalam mengkaji kondisi tanah di sini," sambung Anita.
Sementara itu Kepala Seksi Pencegahan, BPBD Kabupaten Sukabumi, Nanang Sudrajat menjelaskan surat permohonan penyelidikan bencana tanah bergerak ke PVMBG sudah dilayangkan.
"Rencananya ada delapan lokasi di Kabupaten Sukabumi yang akan dikaji PVMBG. Termasuk di Ciherang," jelas Nanang.
Baca juga: Belasan Rumah dan Mushala Terancam Bencana Tanah Bergerak di Purworejo
"Iya, saya merasakan getaran, juga kaca jendela bergetar," kata Didin (68) saat ditemui di rumahnya pada Minggu petang.
Tak hanya hari Minggu. warga juga mendengar dua kali suara dentuman pada Senin (1/2/2021) sekitar pukul 16.00 WIB.
"Benar saya dengar dentuman, suaranya jelegur. Saat itu sedang di dalam rumah," ungkap Yoyo (65) saat ditemui Kompas.com Senin sore.
Sesaat setelah dentuman, ia mendengar ada suara di depan rumah dan mengira ada yang membuka pintu.
Namun saat dicek ternyata pintu rumah masih tertutup rapat.
Karena penasaran ia membuka pintu depan rumah dan terperanjat karena berangkal bebatuan yang menutup rekahan sepanjang dua meter tepat di depan rumahnya sudah lenyap.
Retakan tanah di depan rumahnya itu sudah diketahui semenjak kampung di atas ketinggian 930 meter dari permukaan laut (mdpl) diterjang bencana tanah bergerak dalam sebulan ini.
Baca juga: Tanah Bergerak di Sukabumi Bikin Resah Warga, Ini Penjelasan Awal Ahli
"Tadinya di sini berangkal bebatuan penuh menutupi rekahan ternyata sudah tidak ada, masuk semua," tutur dia sambil menunjuk ke arah rekahan dengan lebar sekitar 20 sentimeter panjang 2 meter.
Sementara itu Rahmat Ule (63) berinisiatif mengecek retakan yang merusak rumah dan tanah di kampung halaman.
"Awalnya kedalaman lubang rekahan ini sekitar 3,5 meter. Tadi mau ngecek lagi, ternyata berangkalnya sudah menghilang, masuk ke dalam bumi," kata pria yang akrab dipanggil Ule.
Baca juga: Fenomena Tanah Bergerak, Kenapa Bisa Terjadi?
"Sekarang hanya mengambil data lapangan, melihat langsung rekahan-rekahan," jelas Mukhsin selesai pengecekan lapangan di lokasi bencana tanah bergerak Dusun Ciherang.
"Hasil lapangan ini nanti akan dianalisa. Berikutnya baru akan dilaporkan ke BPBD," sambung dia.
Mukhsin menuturkan kalau dilihat dari topografi, gerakan tanah ini menempati lereng.
Baca juga: Tak Cuma di Jawa, Fenomena Tanah Bergerak Juga Terjadi di Aceh
Secara geologi, batu breksi dari formasi jampang yang sudah mengalami pelapukan yang sangat kuat.
Air masuk ke tanah melalui rekahan, lalu air bertemu dengan batuan yang kuat. Keberadaan batu kuat ini sebagai medan gelincir sehingga terjadi gerakan tanah.
"Kami hanya sebatas kajian awal. Selanjutnya untuk kajian secara detail oleh Badan Geologi," tutur dia.
Baca juga: Dampak Tanah Bergerak di Kaki Gunung Baros Sukabumi, Ratusan Warga Diungsikan
Mukhsin mengimbau masyarakat agar tetap waspada saat terjadi hujan dengan intensitas cukup tinggi lebih dari dua jam untuk segera mengungsi ke tempat aman.
"Karena air hujan dapat masuk ke dalam rekahan sehingga dapat menjadi salah satu pemicu. Mengurug rekahan agar air tidak masuk ke dalam tanah," imbau dia.
SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Budiyanto | Editor : Abba Gabrillin, Aprillia Ika, Farid Assifa)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.