Pendiri dan Ketua Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC), Panut Hadisiswoyo, mengatakan kegiatan kartel perdagangan satwa internasional menyebabkan sejumlah orangutan asal Indonesia kini berada di luar negeri.
"Kartel perdagangan satwa yang memang sudah cukup meresahkan banyak negara terutama Indonesia. Masih ada di Thailand, dan mungkin juga ada beberapa di Saudi Arabia atau Timur Tengah yang memang tidak mudah dilakukan repatriasi," kata Panut.
Praktik perburuan orangutan hingga kini terus terjadi di Indonesia. Utamanya satwa tersebut dijadikan peliharaan atau hewan koleksi orang-orang dari kalangan 'berkantong tebal'.
"Sebenarnya dari orang-orang dengan ekonomi yang lebih mapan yang berkeinginan untuk memelihara maupun memperdagangkan orangutan ini. Nilainya cukup fantastis," kata Pendiri dan Ketua Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) Panut Hadisiswoyo.
Menurutnya, harga yang dipatok oleh para pemburu di tatanan bawah biasanya tidak begitu mahal. Namun nilainya akan melonjak 'fantastis' usai sampai di tangan pedagang.
Hal itu diamini Kepala Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera, Eduward Hutapea.
Baca juga: BERITA FOTO: Akhirnya, Orangutan Ung Aing dan Natalee Pulang ke Indonesia...
"Belum tentu juga yang menikmati nilai ekonominya ini orang-orang yang melakukan perburuan itu. Tapi bisa saja, nilai ekonomi yang lebih tinggi itu di orang-orang perantara. Namun begitu, ini masih butuh pembuktian," kata Eduward.
Eduward mengatakan bahwa nilai yang diperoleh para pemburu orangutan sebenarnya tidak sebanding dengan risiko hukumannya.
Sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, siapa saja yang memelihara, memburu, memperjualbelikan dan menyelundupkan orangutan akan dikenakan hukuman lima tahun penjara dan denda Rp100 juta.
"Mungkin bagi sebagian orang ini menggiurkan nilai transaksinya," kata Eduward kepada wartawan BBC News Indonesia.
Baca juga: 2 Orangutan yang 5 Tahun Korban Perdagangan Satwa di Thailand, Akhirnya Kembali ke Indonesia
Surat Keputusan Nomor 8088/MenLHK-PKTL/KUH/PLA.2/11/2018. Keputusan itu menetapkan total kawasan hutan seluas 3.009.212,24 hektare. Sedangkan hutan lindung ditetapkan seluas 1.199.236,17 hektare serta kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam seluas 421.150,85 hektare.
"Ini menjadi catatan saja bahwa penting untuk memberi perhatian khusus terhadap perdagangan satwa ilegal ini oleh aparat dan pemangku kebijakan. Jadi kita minta pemangku kebijakan lebih memperhatikan spesies kunci, dan jangan sampai justru terlibat dalam distribusi satwa ilegal ini," ujar Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Utara, Doni Latuparissa.
Baca juga: 2 Orangutan yang Diselundupkan ke Thailand Dipulangkan ke Indonesia
Kepala Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera, Eduward Hutapea, mengatakan ketiadaan alat bukti yang cukup menyebabkan petugas sulit membongkar jaringan perdagangan orangutan hingga ke para pemodal maupun kolektor.
Menurut Eduward, terdapat perbedaan pola antara perdagangan orangutan dengan satwa-satwa dilindungi lainnya seperti harimau. Biasanya, orangutan diperdagangkan secara bebas tanpa diawali dengan transaksi uang muka.