Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dedi Mulyadi: KLHK Harus Umumkan Era Siapa yang Paling Banyak Obral Izin Alih Fungsi Hutan

Kompas.com - 02/02/2021, 20:39 WIB
Farid Assifa

Editor

KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk memaparkan secara objektif tentang perizinan yang telah dikeluarkan dari mulai era Soeharto hingga pemerintah sekarang.

Hal ini agar publik bisa memberi penilaian para era siapa perizinan alih fungsi hutan paling banyak dikeluarkan atau diobral, baik untuk kepentingan penambangan maupun perkebunan. Dedi mengaku permintaan itu sudah beberapa kali disampaikan pihaknya.

"Sehingga publik bisa memberikan penilaian yang objektif, dari seluruh rangkaian itu, maka KLHK harus membuat langkah, apakah pemberian izin untuk kawasan hutan itu, baik untuk pertambangan maupun perkebunan masih dilanjutkan atau tidak. Kalau dilanjutkan apa alasannya, dan kalau tidak juga apa alasannya," kata Dedi kepada Kompas.com via sambungan telepon, Selasa (2/2/2021).

Dari pemaparan itu, kata Dedi, nanti akan muncul keputusan yang harus bersifat permanen agar lingkungan tetap terjaga. Kemudian keputusan permanen itu dituangkan dalam aturan tata ruang. Maka selanjutnya dibuatkan pula aturan tata uang yang bersifat permanen. Misalnya, di wilayah ini luas hutan, areal perkebunan dan pertambangan sekian.

"Kalau tata ruang sudah dianggap cukup, maka dikunci, lalu dibuat moratorium, sehingga siapa pun yang jadi menteri pada periode presiden berikutnya, tugasnya hanya menjaga regulasi yang ada," kata Dedi.

Baca juga: Walhi Beri Catatan soal Alih Fungsi Hutan Lindung Jadi Tambak Udang di Babel

Menurut Dedi, kebijakan tentang lingkungan hidup harus bersifat permanen, tidak bisa berubah-ubah. Sebab, alam itu adalah sebuah kepastian sehingga siapa pun menterinya, kebijakannya harus tetap dan permanen.

Beda halnya dengan kebijakan fiskal. Menurut Dedi, setiap menteri bisa mengganti kebijakan fiskal karena ekonomi bersifat dinamis.

"Ekonomi makro dan mikro boleh setiap menteri ganti kebijakan, karena ekonomi itu dinamis. Tapi alam itu tidak bisa setiap menteri ganti kebijakan karena alam itu pasti," katanya.

Untuk membuat aturan tata ruang permanen, lanjut Dedi, maka harus ada data pasti tentang jumlah hutan, areal perkebunan dan jumlah areal pertambangan, sehingga para pengusaha juga memiliki kepastian soal izin lingkungan.

"Sehingga tidak lagi nanti setiap orang yang menjabat mencari celah untuk membuka ruang izin. Padahal kalau dikeluarkan akan bertentangan dengan kepentingan lingkungan," kata Dedi.

Audit lingkungan

Dedi juga meminta KLHK untuk mengaudit lingkungan, terutama terkait dengan pemberian izin alih fungsi hutan untuk perkebunan dan pertambangan. Audit bisa dilakukan oleh lembaga independen yang kredibel. Hasil audit kemudian diumumkan secara terbuka ke publik.

Dengan demikian, kata Dedi, maka nanti akan kelihatan kapan kerusakan lingkungan terjadi karena pemberian izin alih fungsi hutan. Pada masa menteri siapa izin tersebut dikeluarkan.

"Sehingga pengakuan terhadap banjir di Kalimantan itu disebabkan kerusakan lingkungan, tidak berarti kerusakannya dibuat menteri sekarang. Bisa jadi dibuat oleh menteri sebelumnya," kata Dedi.

Dedi menambahkan, audit lingkungan perlu dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan kondisi alam. Dari audit itu, KLKH bisa memberikan paparan kepada publik tentang kondisi alam, potensi dan dampak kerusakan lingkungan, serta keuntungan dan kerugian ekonomi dari sebuah kebiajakn alih fungsi lahan.

"Diumumkan saja. Suruh lembaga lain untuk membuat kajian komprehensif. Kan untuk kita juga, itu bagian evaluasi," katanya.

Baca juga: Dedi Mulyadi: Ribuan Ikan Mati di KJA Waduk Jatiluhur karena Arus Balik, Pola Tanam Ikan Harus Dibenahi

Dedi mengatakan, audit lingkungan itu ibarat general medical check up pada badan. Hal itu untuk mengetahui penyakit apa yang diderita pasien sehingga bisa diobati dan ke depannya diantisipasi.

"Ya, perlu juga alam Indonesia ini di-general check up. Diumumkan hasilnya agar tahu penyakitnya. Kita bisa antisipasi sehingga tidak gagap ketika terjadi bencana," kata mantan bupati Purwakarta itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com